Kamis, 26 Agustus 2010

MALAYSIA-INDONESIA BERPERANG: Separatis Senang

Lebih dua minggu ini kita disuguhkan pemberitaan seputar memanasnya hubungan Indonesia dan Malaysia. Berbagai tanggapan dan komentar bahkan dari menteri, anggota DPR, politisi, mantan petinggi militer dan sipil serta demo-demo yang terus bergulir dari Jakarta sampai ke daerah-daerah.



Yang paling menyedihkan ketika Menteri Marty di DPR disudutkan karena tidak tegas terhadap Malaysia? Padahal sebagai menlu sudah dengan cepat bertindak dengan kata lain telah melakukan affirmative action dengan meminta agar dilepaskannya 3 orang PNS DKP/KKP. Siapa yang berulah tapi menlu ketiban pulung. Bukannya mendapatkan pujian karena berhasil melepaskan 3 orang itu tapi kena getah dan diomelin DPR.



Logika sederhananya, siap yang berhak mengawal perbatasan baik di darat dan di laut? Tentu penjaga perbatasan, pertanyaan berikutnya siapa atau alat kelengkapan negara manakah yang seharusnya menjaga perbatasan sehingga kemenlu harus kena getah? Artinya, memang tidak ada konsep strategis dan taktis yang dipersiapkan. Deplu atau menlu adalah pihak yang bertanggung jawab atas kebijakan diplomasi yang sifatnya strategis dan jangka panjang dan dalam koridor kebjikan nasional yang didasarkan pada hukum nasional, internasional dan politik nasional.



Jika demikian, maka perkataan ‘barter’ atau ‘tukar-menukar’ tidaklah tepat dan kalaupun itu dilakukan tentu atas dasar kepentingan yang lebih besar. Mungkin rekomendasinya adalah menata lagi penyelesaian perbatasan dengan seluruh negara tetangga tidak saja dengan Malaysia. Patut pula di catat penyelesaian sengketa perbatasan atau klaim atas satu wilayah juga bukan hal yang mudah, mencontohkan banyak negara, ada yang berhasil dan ada yang tidak. Arab Saudi dengan Irak akhirnya membuat zona bebas di perbatasan mereka untuk meredakan ketegangan di antara keduanya. Kepulauan Spartly di laut Cina selatan ditempuh dengan pembicaraan, demikian juga klaim-klaim lain, semisal: Turki dan Yunani, Korea selatan dengan Jepang, Indonesia dan Malaysia atau yang terhangat Thailand dan Kamboja yang berujung saling tembak termasuk India dan Pakistan serta Cina dan India.



Kalau demikian jelaslah, DKP/KKP bertugas menjaga agar potensi kelautan tidak diambil atau dirusak sembarang orang baik dari dalam negeri atau dari pihak asing, TNI AL menjaga kedaulatan terluar dari batas negara di laut sedangkan polisi laut tentu bertindak polisional atau pengamanan sekaligus penyidik atas adanya tindak kriminalitas di laut, tentu tidak diatas laut di BAPnya.


Emosi Yang Memuncak



Dalam berbagai perspektif dapat kita dekati, diantaranya: 1) Selama ini kita melihat memang Malaysia sangat agresif melakukan tindakan atas klaim-klaim mereka seolah mereka tidak mau lagi klaimnya hanya di atas kertas tapi juga de fakto, itulah sebabnya mereka masuk ke wilayah Indonesia atau klaim Indonesia. Kita juga merespon dengan penjagaan dan pengusiran seperti di blok Ambalat, seharusnya setelah terjadinya ketegangan di blok Ambalat maka segeralah di negoisasi dan perundingan agar klaim-klaim itu memiliki dasar yang kuat baik secara hukum, sosiologis, historis, dan lainnya.



2) Emosi berbagai pihak di dalam negeri sebenarnya juga tidak dapat disalahkan mengingat rentetan peristiwa yang selama ini tersiar lewat media. Dalam satu sisi media massa telah membuktikan diri bahwa merekalah yang menjaga kedaulatan negeri ini. Namun dilain pihak jika pemerintah tidak mampu merespon dengan cepat bisa menjadi kontra produktif dalam hubungan bernegara yang sesungguhnya haruslah dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran bersama berdasarkan hubungan baik dan pengakuan eksistensi masing-masing negara bukan mengukuhkan kedaulatan semu semata. Berbicara soal emosi, memang patut disayangkan terjadinya pengerusakan atau memanjat gedung atau sarana milik pemerintah asing apalagi melempari dengan kotoran (najis) ke kantor kedutaan negara asing.



Dalam konteks hukum internasional, gedung/bangunan, kendaraan diplomat dan kapal-kapal berbendera asing adalah wilayah negeri si pemilik sarana itu. Kita masih ingat ketika revolusi Iran yang menduduki gedung kedutaan Amerika yagn kemudian dibalas dengan penyerbuan untuk melepaskan sandera dan pengambil-alihan gedung kedutaan Iran di Washington oleh Amerika jadilah keduanya tidak memiliki hubungan diplomatik.Agaknya dalam hal emosi ini kita belum mempu mengendalikan diri sehingga dapat saja merugikan kepentingan Indonesia di kemudian hari.



Dengan penyikapan yang heboh dan luar biasa sebenarnya secara perlahan Malaysia sedang mengukuhkan dirinya sebagai kekuatan besar di Asia Tenggara atau kekuatan regional. Mengapa? Karena Malaysia dianggap oleh Indonesia yang selama ini sebagai negara besar di regional sebagai rival padahal seharusnya tak selevel. Penyikapan dengan letupan emosi seolah-olah menggambarkan perasaan kegelisahan yang teramat terusik sehingga dilampiaskan dengan marah. Poinnya jelas Malaysia menunjukkan di Asia Tenggara dan pada dunia, hanya dia yang mampu mengusik Indonesia?



Menyikapi Pernyataan Menlu Malaysia



Pada tangal 26 Agustus lalu, dengan tenang menteri luar negeri Malaysia, mengatakan, terhina akibat pelemparan ‘najis’, perusakan fasilitas kedutaan, demonstrasi atas konsulat Malaysia, dan Malaysia bisa habis kesabaran serta di tambah akan dikeluarkannya “travel advisory” kepada warganya yang berkunjung ke Indonesia. Gaya diplomatis yang elegan, kalem dan lugas tapi menusuk gaya menlu Malaysia patut diacungi jempol. Mengapa? Apa pasal Pak Cik, berani mengatakan, “kesabaran Malaysia bisa habis” padahal yang memulai semuanya adalah pihak Malaysia yang tak terima atas penangkapan nelayannya. Reaksi komponen masyarakat Indonesia itu dijadikan oleh Malaysia untuk mendapatkan simpati. Seolah Malaysia telah di aniaya oleh Indonesia (ormas, politisi, media, dan pemerintah) sehingga simpati negara lain dan badan-badan internasional akan mengalir kepada Malaysia. Sialnya, kita tak belajar dari Timor-Timut (Timor Leste) yang di pressure kemudian mengalirkan simpati dunia. Anehnya, pemerintah pun tak lekas bersikap mengambil perannya sebagai pihak yang paling berkepentingan dengan terus mengambangkan tanpa sikap yang jelas.



Demikian, juga ketika, menlu Malaysia mengatakan, “merobek bendera, memanjat dan merusak fasilitas kedutaan dan melempar najis”. Faktanya memang terjadi dan terlihat oleh kita di televisi dan mungkin seluruh dunia tahu. Ada orang Indonesia merobek bendera yang merupakan simbol negara dan identitas kebangsaannya. Demikian pula, dengan memanjat dan merusak tulisan di kedutaan Malaysia pun tersiar di media massa dan melempar kotoran manusia atau ‘najis’ sebagai mana kata menlu Malaysia jelas merugikan bagi citra atau pamor Indonesia. Sejak dahulu kita dikenal sebagai bangsa yang santun, ramah dan bersahabat tetapi kini begitu beringasnya dan tak berbudaya sebagai mana bangsa-bangsa beradab. Kata “najis” jelas ingin mempersepsikan bahwa Indonesia tak lagi terikat dengan agama atau akhlak, cerdasnya pilihan bahasa menlu itu. Bahasa lainnya, bangsa yang mayoritas muslim tapi bermain dengan najis, apalagi di bulan Ramadhan (seolah-olah), itulah tohokan dari negeri itu.



Tak kalah pedasanya, ketika sang menlu, mengatakan, “kelompok Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) yang melakukan pelemparan..”. Sedemikian hafalnya dengan singkatan “Bendera” setidaknya membangkitkan imajinasi bahwa diplomat Malaysia tahu betul konstelasi politik di Indonesia, bisa jadi dari pemberitaan tapi membuat terkesima jangan-jangan semua kelompok-kelompok sipil baik bergerak di bidang politik, sosial, ekonomi, keagamaan dan lain sebagainya terdata dengan canggih oleh Malaysia. Pun ketika dengan lugas dikatakan, “hanya sekelompok kecil masyarakat Indonesia”, dari mana tahu? Bukankah di berbagai daerah di Indonesia, demo anti Malaysia ada, dengan tulisan jelas: Ganyang Malaysia! Perang dengan Malaysia! Ini membuktikan kepercayaan diri yang luar biasa dari pihak Malaysia. Lagi-lagi tentunya bukan dengan pendapat sekilas tapi bisa jadi dengan kajian yang mendalam terlebih lagi embel-embel: kisruh domestik Indonesia yang kemudian Malaysia dijadikan sasaran. Pernyataan canggih, seolah-olah ingin meneriakkan, kalian masih bertengkar di dalam negeri (domestik) akibat berbagai hal kemudian negeri kami jadi sasarannya, begitulah bahasa ketusnya. Dan dengan pelan Malaysia mengeluarkan “travel advisory” yang sejatinya adalah ‘travel warning’, resikonya jelas keluar masuk manusia dari dan ke Malaysia bakal sulit. Tapi kita sudah terbiasa dengan hal begituan. Hanya saja jangan sampai ada pengaruh atas perekenomian kita yang sejatinya sangat membutuhkan investasi asing dan dalam skala kongkrit berkurangnya devisa dari turisme serta devisa dari tenaga kerja.



Dilain pihak, keunggulan Malaysia dalam bidang ekonomi memang telah membuat negara ini haus akan sumber-sumber energi yang kini benar-benar mahal dan wilayah kita mengandung sumber-sumber energi potensial itu. Dasar pemikiran inilah yang bisa jadi membuat Malaysia ingin segera ada kepastian atas klaim-klaimnya dan tak mau lagi berpanjang-panjang duduk di meja perundingan terlebih lagi pihak Indonesia tidak perduli atau lamban bersikap. Logikanya, dengan gesekan itu tentu menimbulkan atensi pihak Indonesia untuk menyelesaikan persoalan-persoalan klaim itu dan memperjelas perbatasannya. Patut di catat Malaysia memiliki sejumlah sengketa perbatasan dengan Filipina, Thailand, Vietnam, Kamboja, Brunei Darussalam, Cina, dan tentunya Indonesia. Karenanya Indonesia memang harus dengan segera duduk di meja perundingan.



Perang Satu Pilihan?



Kekuatan ekonomi Malaysia itu kemudian menopang kekuatan militernya yang di bangun dengan belanja yang besar yang selalu dikatakan oleh petinggi negeri itu, pembelian persenjataan Malaysia bukan untuk memancing perlombaan senjata di Asia Tenggara hingga mereka akhirnya menjadi kekuatan maritim di Asia Tenggara. Dengan komposisi penduduk yang ideal: tidak terlalu besar sehingga pemerataan dan beban ekonomi tidak habis untuk penduduk, ditambah wilayah yang terikat kuat karena penyebaran penduduk yang seimbang dan pertumbuhan ekonomi yang seimbang antara Malaysia Barat di semenanjung dan Malaysia Timur di utara Kalimantan jelas menguntungkan secara strategis. Sedang pertikaian politik dalam negeri sekalipun ada tidak separah di Indonesia. Malaysia tetap dalam gonjang-ganjing terlebih setelah gerakan Anwar Ibrahim, tentu dengan isu ketegangan dengan Indonesia mampu merekatkan patriotisme sebagai bangsa. Sejatinya, kekuatan militer Indonesia dan Malaysia relatif seimbang karena kedua negeri ini belum mampu memenuhi kebutuhan pertahanannya hingga 80% dari produksi dalam negeri atau bergantung pada negara lain. Jika demikian maka siapa yang memiliki kekuatn ekonomi dan hubungan baik dengan negara produsen senjatalah yang unggul. Oleh sebab itu, dengan belanja militer yang besar itu maka Malaysia di atas Indonesia.



Selain itu, dalam hal militer Malaysia diuntungkan dengan geografis Indonesia yang luas tapi demografi Indonesia yang tidak merata sehingga untuk mempertahankan wilayah maka harus mendatangkan bantuan dari Pulau Jawa. Otomatis dalam simulasi dengan mudah Malaysia menduduki Pulau Sumatera dan Kalimantan atau sebagaian dari kedua pulau Indonesia tersebut. Pulau Sumatera yang langsung berhadapan dengan pusat kekuasaan dan kekuatan Malaysia tentunya haruslah diduduki terlebih dahulu agar serangan tidak terjadi atas Semenanjung. Hal yang sama juga berlaku atas Kalimantan untuk mengantisipasi serangan atas Malaysia Timur maka Kalimantan harus diduduki sehingga wilayah Malaysia yang dengan susah payah di bangun selamat dari areal pertempuran.



Selain itu Malaysia telah jauh hari bersiap diri, tank asal Pakistan, Korea, Amerika, Rusia dan Inggris telah banyak di impor. Pesawat tempur juga berbagai spesifikasi yang bukan saja untuk kepentingan pertahanan tapi untuk menyerang, lihat saja kehadiran Sukhoi 30 yang mampu terbang sejauh 3.000 Km tanpa pengisian bahan bakar jelas jarak tempuh sejauh itu tak sepanjang wilayah Malaysia atau dengan kata lain dapat terbang bolak-balik Jakarta-Kuala Lumpur tanpa pengisian bahan bakar. Bila di tempatkan di Kalimantan pastinya menjangkau Papua dengan bolak-balik belum lagi persenjataannya. Angkatan Laut juga tak kalah ramainya dengan pembelian 4 kapal selam dan berbagai jenis kapal cepat serta pendarat dapat mengidentifikasikan memang negeri serumpun ini siap untuk berkonfrontasi hanya tinggal melatih tentaranya. Kelamahan kita juga dengan adanya Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang menjadi jalur internasional yang boleh dimasuki seolah-olah memecah wilayah kepulauan Indonesia. Dengan menempatkan kapal-kapal pada jalur laut ALKI itu kita tak bisa berbuat banyak taruhlah kapal perang tidak tapi bagaimana dengan kapal logistik.



Demikian pula dengan aliansi Five Defences, Malaysia, Singapore, Australia, Inggris dan New Zealand juga faktor eksternal dimana dalam traktat pertahanan itu disebutkan “serangan/ancaman terhadap satu negara aliansi adalah serangan/ancaman terhadap negara-negara aliansi keseluruhan”. Paling tidak Malaysia merasa dibantu. Taruhlah dengan hubungan baik yang terbina negara-negara itu tak terlibat namun bantuan dana dan dukungan peralatan serta senjata tetap akan mengalir deras.



Dalam ilmu pertumbuhan negara dikatakan, “negara ibarat organisme yang tumbuh dan membutuhkan ruang untuk hidup”, masalahnya apakah Malaysia sudah sampai pada kebutuhan itu? Jika dibandingkan Singapure tentu Malaysia tidak setinggi kebutuhan Singapore akan lahan dan Singapore pun mampu menahan diri untuk tidak menerapakan teori organisme itu lain halnya dengan Israel. Lantas apa? Barangkali Malaysia ingin menunjukkan bahwa mereka bukan lagi negara yang selamah dahulu ketika direcokin Indonesia pada masa Orde Lama dengan: Ganyang Malaysia. Padahal sebenarnya, gerakan Sukarno dengan Ganyang Malaysia adalah untuk memerdekakan Malaysia dari pengaruh bangsa Asing (Inggris). Bayang-bayang akan operasi Ganyang Malaysia ini tentunya menyakitkan bagi Malaysia yang sudah merdeka namun entah kenapa selalu kita hidupkan di saat kita di buat sebel oleh Malaysia.



Akan halnya, kegaduhan yang selalu terjadi di dalam negeri tentunya pihak Malaysia tahu persis dan membaca dengan teliti. Persoalan-persoalan domestik kita bukan saja membuat kita lemah tapi juga boros dalam hal ekonomi serta kehilangan pamor atau citra. Dalam teori negara integralistik dikatakan, “negara ibarat keluarga”. Jika dalam keluarga terus-menerus cekcok maka jangan harap ada tetangga atau keluarga lain akan segan kepada keluarga kita. Kasus-kasus korupsi telah membuat kita senang berdebat tanpa juntrungan dan akhirnya tak ada keputusan yang jelas, tegas dan benar. Dalam hal penegakan hukum jelas masih banyak mafia hukum dan hukum sudah pandang bulu, dalam bidang ekonomi, mafia pajak, backing-backing aparat dengan uang palak tertentu telah melemahkan daya saing dan mengurangi pendapatan negara. Kebijakan penggajian (numerasi) yang keliru sehingga aparatur menjadi gampang disuap serta dan dibeli. Korupsi yang tinggi tentu melemahkan pendapatan negara dan berkurangnya alokasi anggaran untuk pembangunan. Ketidakmerataan pembangunan dan perputaran ekonomi jelas melahirkan kesenjangan antara satu wilayah/daerah dengan daerah lain akibatnya selalu timbul sentimen kedaerahan dan kecemburuan antar satu daerah dengan daerah lain atau pusat dengan daerah. Puncaknya terkadang timbulnya letupan separatisme: GAM (dahulu), RMS dan OPM serta dalam skala mini: perebutan perbatasan desa, kecamatan, kabupaten atau provinsi belum lagi budaya emosional menyangkut suku, semisal: Madura-Dayak di Kalimantan Barat, sentimen anti Jawa ketika Aceh masa Daerah Operasi Militer (DOM), anti Cina dan konflik-konflik sentimen agama, serta bahaya laten lainnya. Dalam sejarah pergolakan domestik maka Indonesia tercatat paling banyak memiliki pemberontakan dan gerakan separatis. Ditambah pula ketidakpuasan Belanda atas referendum atas Irian (Papua) yang hingga kini timbul-tenggelam serta daerah-daerah yang pernah merasa merdeka, semisal: Pasundan, Kalimantan Barat dan Timur, Sumatera Timur, Sumatera Selatan, Jawa Timur, Celebes, Riau Merdeka dan lainnya. Persoalan-persoalan ini sampai 65 tahun kemerdekaan belum mampu dipecahkan dan membuat penyelesaian tuntas.



Sayangnya juga terkadang secara lugas diperlihatkan oleh anak bangsa, ketidaktahuan akan budaya Indonesia yang majemuk sering kali diperlihatkan dengan tidak adanya kerendahan hati untuk mengangkat identitas suku bangsa atau daerah lain yang selalu saja kalah dengan Jakarta sentris. Dalam banyak dialog antar masyarakat sering kali Indonesia diidentikkan dengan Jawa semisal dalam bincang-bincang di Malaysia selalu dikatakan Indonesia adalah Jawa. Kemudian ditampakkan dengan begitu seriusnya pemerintah membela Batik sebagai identitas nasional dari klaim Malaysia dan lupa memikirkan “rendang padang”, songket Jambi, Budaya Dayak: tari-tarian mengingat Indonesia memiliki sub etnis Dayak terbesar dari pada Malaysia. Faktor-faktor ini membuat kita merefleksikan apa dan siapa sebenarnya Indonesia?



Boleh jadi dengan perang dengan Malaysia perasaan senasib/solidaritas sebagai bangsa akan timbul ketika menghadapi musuh dari luar. Hal yang sama berlaku terhadap Korea Selatan yang membangun semangat kebangsaannya dengan memojokkan Jepang. Namun, Korea bangkit menjadi negara industri, bagaimana dengan kita? Solidaritas akan muncul tapi bisa jadi malah sebaliknya, menyambut kedatangan tentara negeri jiran dengan bunga dan menjadikannya sebagai penyelamat.



Sekalipun demikian kita tak boleh meremehkan keberanian rakyat untuk membela hak-haknya termasuk kedaulatan negeri ini. Hanya saja rakyat yang selalu tulus membela bangsa ini selalu tertindas sedang rakyat yang berada pada saat negeri ini dalam keadaan tak menentu atau kacau hengkang dan pergi.



Satu hal lagi, sejalan dengan pemikiran, benturan peradaban bukan tidak mungkin selepas berperang dengan negeri muslim di Irak dan Afganistan serta dikendalikannya Iran dan Pakistan maka misi di dunia Islam telah mendekati pnyelesaian. Apalagi dengan dimulainya dialog Palestina (Arab)-Israel serta telah dibagi-baginya pengendalian atas Semenanjung Arab. Musuh hegemoni barat adalah Cina yang dalam beberapa dekade ke depan menjadi negara yang kuat secara ekonomi, politik dan militer. Selain itu, Cina juga ditengarai banyak membantu negara-negara yang melawan sekutu Amerika, semisal: Sudan, Iran, Suriah dan lainnya. Sangat konspiratif memang tapi kenetralan Indonesia bisa jadi pintu bagi menguatnya peran Cina di Asia Tenggara yang juga memiliki klaim teritori. Untuk melemahkan peran Cina maka Indonesia mestilah dipengaruhi setidaknya dilemahkan atau dalam kendali barat. Kemudian atas kendali barat itu, Indonesia menjadi pihak penyeimbang pengaruh Cina. Pemikiran lain, bisa saja karena mayoritas penduduk muslim tentu tidak strategis atas kepentingan barat karena bisa saja radikalisme tumbuh di Indonesia terlebih rentannya Indonesia terhadap ancaman terorisme. Sedangkan hubungannya dengan Malaysia adalah sebagai test the water sejauh mana kekuatan Indonesia dan bisa jadi juga imbalan atas tindakan martir Malaysia. Kekhawatiran ini sebenarnya pernah ada sebagaimana Yugoslavia di Balkan yang akhirnya terjebak dalam konflik dan terpecah. Semoga tidak dan jauh panggang dari api.



Satu hal yang pasti jika ketegangan meningkat maka dengan cepat polisi dunia, Amerika dan sekutunya masuk serta membangun basis di Asia Tenggara yang telah lama ditinggalkannya di Subic dan Clark, Filipina. Dengan demikian episiode Malaysia-Indonesia akan berujung dengan pembenaran Amerika dan sekutunya serta bisa jadi Malaysia kecipratan untung.



Isu atau Pengalihan? Damai Saja



Boleh jadi juga, perang dengan Malaysia adalah isu belaka menenggelamkan berbagai persoalan besar dalam negeri atau motif lain. Teringat oleh kita bagaimana pemerintahan sipil di Turki menangkapi tokoh-tokoh sekuler baik sipil dan militer yang dengan rencana untuk menyerang Yunani sehingga terprovokasi untuk menyerang Turki atau setidaknya terjadi krisis. Akibatnya pemerintahan sipil akan menjadi lemah sehingga dapat dijatuhkan baik dengan paksa atau mosi tak percaya. Namun dengan sigap dan tegas pemerintahan PM Edorgan menyapu semua anasir itu. Mungkin bayangan ini sangat jauh untuk kasus Indonesia walaupun terlihat upaya untuk memojokkan pemerintah yang memang kurang tegas.



Kalaulah isu pemberitaan sekarang ini terus-menerus dan oleh pemerintah cepat disikapi dan berani membuat keputusan untuk maju ke meja perundingan maka pemberitaan media telah berhasil menjadi penjaga bangsa. Namun dengan gelagat pemerintah yang lamban dan terlalu berhati-hati sementara eskalasi isu terus bergulir maka pemberitaan media adalah kontra produktif dan destruktif bagi perkembangan hubungan Indonesia ke depan. Karakter pemerintah ini harus di baca media agar tidak melahirkan efek kecemasan semu yang mengguncang stabilitas politik, ekonomi dan hukum di tanah air sebab jika tidak maka tidak ada manfaatnya sama sekali justru merugikan kepentingan Indonesia. Ada baiknya jurnalisme damai dikedepankan dengan memberikan penekanan arti hubungan bersahabat antar bangsa sebagai aset ke depan Indonesia.



Kalaulah demikian tentu opsi berdamai dan hidup bertetangga dengan baik adalah pilihan yang sangat baik tapi selayaknya bertetangga akan selalu ada pertengakaran nah tentu harus diselesaikan dengan cara-cara yang bijak, tegas sebagaimana amanat konstitusi: melindungi segenap bangsa, kemerdekaan, dan menciptakan perdamaian abadi.



Demikian juga dengan ketegangan sekarang ini maka dialog antar masyarakat kedua negara menjadi penting terlebih lagi antar masyarakat serumpun sebenarnya bukan barang baru dan jauh lebih efektif dari diplomasi dewasa ini. Hubungan Indonesia-Malaysia telah berumur ribuan tahun sedang umur sejarahnya sejak 1500 tahun lalu. Negeri Johor pernah didirikan di Riau karena serangan musuh dan rakyat Riau membantu Melaka ketika diserbu Portugis begitu sebaliknya Riau mendapat amunisi dan senjata dari Penang untuk perang kemerdekaan.



Namun, mengingat pemerintah telah terjebak dalam plot media dan tokoh politik, ormas serta sebagaian masyarakat untuk mengambil sikap face to face dengan Malaysia maka sikap enggan memulai pembicaraan akan kelihatan. Padahal jika pemerintah ini cerdik di saat semua orang menghendaki perang maka perdamaian adalah revolusi sesungguhnya. Naik pesawat Menteri Luar Negeri berkunjung ke negeri jiran jangan sampai menlu se Asean berkumpul membahas Indonesia-Malaysia.



Kamis, 05 Agustus 2010

REDENOMINASI MATA UANG RUPIAH, SEKARANG SAJA

REDENOMINASI RUPIAH mengingatkan kita ketika menyusun agenda reformasi di Bandung sebagai garis besar pelaksanaan reformasi yang disampaikan ke Bina Graha dan diserahkan kepada Presiden B.J. Habibie ketika itu. Selain meeformasi bidang pertanahan, pertahanan dan keamanan, luar negeri, otonomi daeah juga bidang ekonomi yang salah satunya memperkuat mata uang uang rupiah sebagai alat tukar kebanggaan nasional.


Darmin Nasution kini menjadi Gubernur Bank Indonesia, tak berapa lama kemudian ia mengelar konprensi pers dan mengutarakan maksud BI berdasarkan kajian yang telah lama dilakukan untuk redenominasi rupiah atau menyederhanakan nilai nominal yang tertera di alat tukar (mata uang) rupiah. Pernyataannya langsung mendapat pro dan kontra dari berbagai kalangan baik pelaku usaha terutama pemain pasar modal dan uang, kalangan bankir, dan masyarakat awam.


Kehebohan redominasi sampai menjadi berita di berbagai media massa cetak dan elektronik termasuk on line. Metro TV dengan serius mewawancarai berbagai kalangan dan dengan nada sedikit kritis menyoroti kebijakan redenominasi yang menurut salah seorang nara sumber yang diputar secara berulang-ulang pada siaran stasiun tv berita pelaksanaan redominasi rupiah susah dilaksanakan. Demikian pula, sebuah stasiun tv sampai mewawancarai pedagang di Pasar untuk menanyai pengertian masayarat akan arti istilah (terminologi) ‘redenominasi’ pada berita malam pukul 00.00 WIB, 5/8/2010.


Tapi baiklah, redominasi bukanlah hal yang sulit untuk dilaksanakan. Selain itu, sebenarnya redominasi rupiah seharusnya telah dilakukan pada saat Indonesia mengalami kelemahan pada nilai tukar yang sangat terasa ketika itu adalah pada saat di awal-awal reformasi pada tahun 1998 sehingga redenominasi rupiah bisa dilakukan paa tahun 2000. Namun, sebagai gagasan yang baik tentu tidak terlambat untuk melakukannya sekarang.


Tapi sayang ide cemerlang yang dilontarkan oleh Darmin Nasution tak bersambut baik, baik Wakil Presiden Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Radjasa dan Menteri Keuangan Agus Martowardojo langsung meng-cut dengan menyatakan belum dijadikan agenda pemerintahan, belum ada pembahasan, baru wacana BI, perlu di kaji ulang, dan lain sebagainya. Sikap tak responsif selalu saja menjadi watak pemerintahan rejim sekarang, lamban meespon dan tidak inovatif cenderung depensif dan tak mau amblil resiko atau tersinggung karena gubernur BI tidak ngomong-ngomong dulu kepada pemerintah.


Sebenarnya, redenominasi rupiah adalah mengurangi nilai nominal rupiah yang terlalu banyak sesuai pernyataan Darmin perbandingan nantinya untuk Rp. 1.000,- akan sama dengan Rp. 1,- dengan demikian maka jika anda memiliki uang Rp. 100.000,- maka nantinya setara dengan mata uang Rp. 100,- atau jika uang anda Rp. 100,- setara dengan Rp. 10 sen. Sebuah kebijakan yang tepat dan sangat baik. Jika demikian maka nantinya US Dollar 1 setara dengan Rp. 9,-.


Kebijakan ini bukan saja mensederhanakan nilai nominal yang tertera di mata uang tapi efek psikologis yang luar biasa bagi penguatan ekonomi nasional yang dapat kita lihat nantinya pada kurs dengan mata uang asing lainnya juga akan mengalami perubahan. Singkatnya mata uang rupiah akan menjadi kuat dan kalaupun terus mengalami pemerosotan nilai tukar terhadap mata uang asing maka nilainya tidak akan anjlok sampai ribuan rupiah untuk waktu yang cepat. Selain itu, tentunya akan menghemat dari pemborosan dengan pembuatan dan pencetakan mata uang rupiah yang secara fakta di masyarakat tidak laku seperti pecahan Rp. 25,-; Rp. 50,-; Rp. 100,- dan mungkin Rp. 200,- yang sudah jarang digunakan.


Pengalaman negara lain yang berhasil adalah Turki, nilai mata uang Lira Turki pada tahun 2000 berbanding sekitar 1.600.000,- Lira terhadap US Dollar 1,- namun setelah redominasi untuk US $ 1 hanya setara dengan YTL 1,6,- (Yeni Turk Lira=Lira Baru Turki). Untuk melakukan redenominasi Rpepublik Turki Cuma butuh hampir 3 tahun atau sejak tahun 2005 hingga 2008 sejak partai Erdogan berkuasa, AKP. Sebelumnya, harga sebuah es krim di Turki sampai dengan 8.000.000 Lira, anda bisa bayangkan? Padahal mungkin cuma sekitar 5-6 US $. Bayangkan pula bila membeli mobil mungkin angka nol sudah bersusun 10-12 dibelakang pembilangnya. Keberhasilan Turki ini menjadi inspirasi diberbagai negara salah satunya Rumania dan mungkin juga Indonesia.



Namun, Indonesia dengan kepemimpinan dewasa ini yang takut salah, tidak tegas dan terlalu lamban dalam membuat kebijakan alias kurang berani membutuhkan 10 tahun untuk merealisasikannya. Jadi belum tentu sekarang kita punya mata uang kuat seperti bangsa lain, Malaysia, Siangapura atau Thailand. Sebenarnya, kebijakan redenominasi tidak juga perlu diambil apabila secara kawasan ASEAN memiliki mata uang bersama atau kita memakai mata uang negara lain, jadi tinggal menukarkan saja.



Akan halnya keguncangan di masyarakat, benarkah? Dewasa ini dengan peran industri perbankan yang telah masuk keseluruh pelosok negeri (kecamatan) maka dengan cepat redenominasi bisa terlaksana. Jika Turki butuh waktu 3 tahun mungkin kita bisa optimis dapat melakukannya dengan lebih cepat. Pranata pembayaran gaji bagi PNS dapat digunakan untuk melakukan redenominasi dengan membayarkan gaji mereka sesuai kebijakan baru itu, selanjutnya perbankan dengan cepat melakukan itu selanjutnya. Selain itu, skema optimisme ini bukanlah hal yang mengada-ada, banyak dri masyarakat kita terbiasa dengan melakukan tukar-menukar mata uang semisal untuk haji atau TKI yang selalu menukar mata uang asing ke mata uang domestik demikian sebaliknya. Jadi sebenarnya tidak susah.


Kendalanya mungkin adalah karena mata uang yang ditukar itu nantinya sama maka perlu diingatkan mana mata uang pengganti. Dalam kasus Turki untuk tidak membingungkan tukar-menukar mereka membuat istilah Yeni Turk Lira (Lira Baru) sehingga seolah-olah sama dengan menukar mata uang domestik dengan mata uang asing. Dalam kasus Indonesia maka penting untuk membedakannya agar tidak terjadi spekulasi misalkan Rupiah yang nantinya diterbitkan bernama Rupiah Baru dengan perbandingan nilai x atau dengan menggunakan mata uang sementara untuk menarik mata uang lama dan sesudahnya mencetak mata uang rupiah namun dengan nilai yang baru.




Jika demikian, bayangan atau dugaan bahwa kepanikan dan keruwetan yang akan timbul jika terjadi redenominasi rupiah yang sering ditampilkan oleh media massa sebenarnya bisa dipahami dengan cara sederhana. Tentunya dengan syarat tidak melakukan judgement yang buruk atas segala yang datang dari lembaga negara atau pemerintah. Selama itu patut untuk di kritik ya kritiklah tapi jika kebijakan itu baik maka jadikanlah sebagai momentum untuk merubah nasib bangsa menjadi lebih baik tapi tetap menjadi penjaga demokrasi.


Wassalam.