Rabu, 11 Januari 2012

Diksi Menentukan Respon Pembaca

RAPP vs Tempo
Diksi Menentukan Respon Pembaca

"Diksi dalam menulis fakta pada sebuah berita menentukan apakah berpotensi memojokkan seseorang atau tidak. Kata 'diduga' bukan merupakan kesimpulan, dan tidak menuduh sepanjang dikatakan oleh sumber berita."


Saya mungkin bisa bilang ke istri saya 'kamu sekarang rakus'. Tapi saya akan memilih mengatakan, 'kamu sekarang makan banyak sekali', ujar Guru Besar Linguistik Pascasarjana Universitas Atma Jaya Bambang Kaswanti Purwo di hadapan Majelis Hakim PN Jakarta Selatan pimpinan Eddy Risdianto, Selasa (15/4).



Bambang dihadirkan tim kuasa hukum PT Riau Andalan Pulp Paper (RAPP) sebagai ahli dalam perkara melawan PT Tempo Inti Media (Koran Tempo). Sidang kali ini hanya berkutat penjelasan pilihan kata dan netralitas suatu pilihan kata dalam kalimat dari seorang linguist.



Menurut Bambang, diksi atau pilihan kata dalam menulis, akan menentukan seberapa profesional seorang penulis berita mengemas fakta menjadi sebuah berita. Setiap membuat teks tulisan, seseorang pastilah sadar siapa audien yang bakal membaca dan respon apa yang mungkin timbul dari pembaca. Seperti contoh Bambang di muka, meski kedua kalimat memiliki pengertian sama, kata rakus bakal kurang enak didengar. Respon dari lawan bicara juga akan lain.



Dia membeberkan, sebuah teks bacaan secara umum dapat dibagi menjadi tiga; teks akademis alias ilmiah, jurnalistik dan sastra. Teks jurnalistik, ujar Bambang, berbeda dengan kedua jenis teks lainnya itu. Ia mesti bersih dari opini penulis dan hanya pendedahan dari sumber sekunder.



Sebuah teks jurnalistik hanya bisa menuliskan fakta dari sumber sekunder, semisal dari narasumber atau kumpulan data pendukung fakta. Ia tidak boleh memuat kesimpulan atau pendapat dari penulis, terlebih, untuk sebuah berita atau teks jurnalistik.



Lain halnya jika tulisan di media massa berupa tajuk rencana atau kolom yang berisi argumen, persuasi dan narasi dimana penulis tidak diharamkan beropini. Kalau di tajuk rencana atau di tulisan ilmiah, justru isinya pendapat penulis, ujar Bambang.



Seperti diberitakan sebelumnya, berita Koran Tempo berjudul Polisi Bidik Sukanto Tanoto merupakan satu dari empat berita yang dipersoalkan RAPP di meja hijau. Dalam berita itu terdapat kata rakus dan dugaan. Kuasa hukum RAPP Hinca Pandjaitan mempertanyakan apakah pilihan kata rakus dan bidik sebenarnya bisa dikatakan opini redaksi ataukah penulisan fakta.



Kata rakus, dijelaskan Bambang sebagai sifat yang berlebihan dalam memakan sesuatu, memakan lebih dari kemampuan, secara berkesinambungan. Menurut Bambang, rakus merupakan pilihan kata yang merupakan opini.



Kata bidik, urai Bambang, Bidik itu mengarahkan ke satu titik tertentu, pandangan sudah terkunci pada suatu hal tertentu, seperti mengarahkan senapan dan tinggal menunggu kapan menarik pelatuk. Sedangkan dugaan memiliki arti sesuatu yang belum jelas, masih bisa berubah-ubah tergantung bukti dan fakta yang mengikutinya kemudian hari. Masih abstrak, ujarnya.



Penggunaan kata Bidik pada judul inilah yang dipersoalkan Kuasa Hukum RAPP. Berdasar keterangan ahli, kata bidik sudah mengarah pada target tertentu dan sudah jelas, sedangkan pada badan berita yang berisi fakta-fakta, ternyata tertulis Sukanto Tanoto�pemilik pabrik kertas RAPP� masih diduga. Jadi bukan satu orang atau satu titik saja yang sebenarnya diarah atau diduga oleh Kepolisian, kata Leonard P Simorangkir�kuasa hukum RAPP lainnya.



Kata Dugaan

Dosen hukum pidana Universitas Islam Indonesia Mudzakkir mengatakan, untuk menghindari mencemarkan nama baik atau kesan menuduh, pemilihan kata memang harus diperhatikan. Ia mencontohkan, dalam pemilihan kata untuk seorang tersangka sebaiknya menggunakan kata diduga. Sehingga fakta-fakta yang dikemukakan oleh penulis berita masih bersifat dugaan. Kata diduga itu bisa menghindarkan tulisan dari sifat menuduh seseorang melakukan ini atau itu. Paling tidak bisa mengurangi perasaan telah dihakimi, ujarnya.



Bambang mengatakan�dalam teks jurnalistik�kata 'diduga' bukan merupakan opini atau kesimpulan kalau yang menduga bukan si penulis, namun bisa jadi pula kata dugaan menjadi sebuah kesimpulan. Tergantung konteks penggunaan kata itu, kata Bambang menjawab pertanyaan kuasa hukum Koran Tempo, Hendar Sumarsono dari LBH Pers.



Kuasa hukum Koran Tempo dari LBH Pers M HaLim mengatakan, bahasa merupakan dimensi yang bergerak menyesuaikan perkembangan masyarakat. Ia menilai ahli tidak memiliki kapasitas menilai sebuah tulisan jurnalistik sudah ditulis secara benar atau tidak. Sebuah industri media, ujarnya memiliki menajemen tertentu untuk memilih kata, terutama dalam sebuah judul yang tentu harus menyedot pembaca agar bisa tergiring melahap berita.




Perkara RAPP melawan PT Tempo Inti Media Harian bermula dari tiga berita di Koran Tempo antara lain, berjudul Pertikaian Menteri Kaban dengan Polisi Memanas (edisi No 2181 tahun VII, 6 Juli 2007), Polisi Bidik Sukanto Tanoto (edisi No. 2187 tahun VII,12 Juli 2007), Kasus Pembalakan Liar di Riau, Lima Bupati Diduga Terlibat (edisi No.2188 Tahun VII,13 Juli 2007).

RAPP menilai tiga berita Koran Tempo tersebut telah memuat sejumlah informasi yang menyesatkan pembaca karena diragukan kebenarannya, dan bersifat menyudutkan perusahaan bubur kertas milik Taipan Sukanto Tanoto itu. Pemberitaan dinilai telah melanggar asas praduga tak bersalah, akurasi dan kebenaran informasi seperti ditentukan dalam Undang-Undang Pers.

Selasa, 15 April 2008
NNC
Dibaca: 186 Tanggapan: 0

Share:

PDF Print E-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar