Rabu, 11 Januari 2012

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
---------------------
RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 14/PUU-VI/2008
PERIHAL
PENGUJIAN KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM PIDANA (KUHP)
TERHADAP
UNDANG-UNDANG DASAR 1945
ACARA
PENGUCAPAN PUTUSAN (V)
J A K A R T A
JUMAT, 15 AGUSTUS 2008
1
MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
--------------
RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 14/PUU-VI/2008
PERIHAL
Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terhadap Undang-
Undang Dasar 1945
PEMOHON
- Risang Bima Wijaya
- Bersihar Lubis.
ACARA
Pengucapan Putusan (V)
Jumat, 15 Agustus 2008, Pukul 14.00 – 16.25 WIB
Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi RI,
Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat
SUSUNAN PERSIDANGAN
1) Dr. Harjono, S.H., M.CL (Ketua)
2) Prof. Abdul Mukhtie Fadjar, S.H., M.S (Anggota)
3) Prof. H.A.S Natabaya, S.H., LL.M. (Anggota)
4) I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. (Anggota)
5) Maruarar Siahaan, S.H. . (Anggota)
6) Prof. Dr. Mahfud. M.D. (Anggota)
7) Dr. H.M. Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum (Anggota)
8) Dr. Muhammad Alim, S.H., M. Hum (Anggota)
Sunardi, S.H. Panitera Pengganti
2
Pihak yang Hadir:
Kuasa Hukum Pemohon :
- Anggara, S.H.
- Sholeh Ali, S.H.
- Muhammad Halim, S.H.
- Adiani Vivian, S.H.
- Hendrayana, S.H.
Pemerintah :
- Susilo Hartono Sesditjen Menkoinfo)
- Mualimin Abdi, S.H., M.Hum (Kasubdit Penyiapan Keterangan
Pemerintah dan Pendampingan Persidangan Dept Hukum
dan HAM)
- Puji Basuki (Kejaksaan)
- Maria (Kejaksaan)
- Antonius (Kejaksaan)
- Ari (Kejaksaan)
- Heny (Kejaksaan)
Pihak Terkait :
- Drs. Sabam Leo Batubara (Wakil Ketua Dewan Pers)
- Bambang Harymurti, M.P.A (Anggota Dewan Pers)
- Torotojulo Menropa, S.H. (PWI)
- Ikrama
- Imama Whyudi (IJTI)
Ahli dari Pemohon :
- Yenti Garnasih
- Nono Anwar Makarim
Ahli dari Pemohon :
Guntur Situmorang (Tim Asistensi Ditjen DPR-RI)
3
1. KETUA : Dr. HARJONO, S.H., M.CL
Sidang Mahkamah Konstitusi untuk membacakan Putusan Nomor
14/PUU-VI/2008 dengan ini saya nyatakan di buka dan terbuka untuk
umum
Baik Saudara-Saudara sekalian, sidang pembacaan putusan dari
Perkara Nomor 14/PUU-VI/2008 yang mungkin sudah lama ditunggu,
baru sore ini bisa dibacakan putusannya. Sebelum membacakan
putusan, silakan memperkenalkan diri, dari Pemohon siapa yang hadir
seluruhnya sebelum yang lain juga nanti memperkenalkan diri, silakan.
2. KUASA HUKUM PEMOHON : SHOLEH ALI, S.H.
Terima kasih yang mulia.
Dari Tim Pemohon yang hadir, sebelah sini Anggara, Hendrayana,
Fifiana, Soleh Ali, Muhammad Halim dan dari Ahli Ibu Yanti dan Bapak
Nono Anwar Mukarim. Sementra untuk Pemohon sementara ini
berhalangan hadir kuasa hukumnya.
Terima kasih yang mulia.
3. KETUA : Dr. HARJONO, S.H., M.CL
Jadi perkara nomor 14 pemohonnya berapa semuanya ini?
4. KUASA HUKUM PEMOHON : SHOLEH ALI, S.H.
Dua orang Risang Bima Wijaya dan Bersihar Lubis.
5. KETUA : Dr. HARJONO, S.H., M.CL
Sudah hadir semua, sudah perkenalan semua kuasa hukum?
6. KUASA HUKUM PEMOHON : SHOLEH ALI, S.H.
Dalam kesempatan ini dia tidak bisa hadir, diwakilkan kepada kami
SIDANG DIBUKA PUKUL 14.00 WIB
KETUK PALU 3X
4
7. KETUA : Dr. HARJONO, S.H., M.CL
Yang Pemohon kedua, sama .
Baik, sekarang dari sisi sini dulu Pemerintah dan DPR.
8. PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI, S.H., M.Hum (KASUBDIT
PENYIAPAN KETERANGAN PEMERINTAH DAN PENDAMPINGAN
PERSIDANGAN, DEPT HUKUM DAN HAM)
Terima kasih yang mulia.
Hari ini adalah sidang yang ketiga yang mulia, kami dari
Pemerintah, kami sendiri Mualimin Abdi dari Departemen Hukum dan
HAM, di samping kiri saya Bapak Susilo Hartono dari Departemen
Komunikasi dan Informatika kemudian di kirinya lagi Bapak Puji Basuki
dari Kejaksaan, Ibu Maria dari Kejaksaan, di belakang kami yang mulia
ada Ibu Heny, Bapak Antonius, dan Ibu Ari,semuanya dari Kejaksaan.
Terima kasih yang mulia.
9. DPR-RI : GUNTUR SITUMORANG (TIM ASISTENSI SETJEN DPRRI)
Terima kasih yang mulia.
Saya Guntur Situmorang sebagai tim asistensi yang mewakili tim
Kuasa Hukum DPR RI, demikian.
10. KETUA : Dr. HARJONO, S.H., M.CL
Dalam sidang ini hadir juga pihak terkait, biasanya duduk di
depan ini, silakan memperkenalkan diri masing-masing, silakan.
11. PIHAK TERKAIT : (DEWAN PERS)
Dari Dewan Pers, dari sebelah kanan Bapak Harymurti, lalu
Ikrama, saya sendiri, lalu Bapak Leo Batubara dan Bapak Wina, terima
kasih.
12. KETUA : Dr. HARJONO, S.H., M.CL
Selain Dewan Pers hadir juga dari AJI ya? tidak ada, lalu
Kemudian dari PWI.
13. PIHAK TERKAIT : TOROTOJULO MENROPA (PWI)
Saya Torojalu Menro mewakili PWI Pusat.
5
14. KETUA : Dr. HARJONO, S.H., M.CL
Yang lain?
15. PIHAK TERKAIT : IMAM WAHYUDI (IJTI)
Saya Imam Wahyudi dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia.
16. KETUA : Dr. HARJONO, S.H., M.CL
Ahli ada yang hadir di sini?
Baik, kalau sudah memperkenalkan diri masing-masing yang hadir
dalam persidangan ini, akan saya bacakan putusan dari Mahkamah
Konstitusi. Putusan ini cukup tebal, jadi harap bersabar. Oleh karena itu
untuk membacakan putusan nanti akan bergantian, seluruh hakim
Mahkamah Konstitusi akan ikut ambil bagian dalam pembacaan putusan.
PUTUSAN
Nomor 14/PUU-VI/2008
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada
tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara
Permohonan Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
diajukan oleh:
[1.2] 1. Risang Bima Wijaya, S.H., tempat/lahir di Bangkalan, 5
Oktober 1973, agama Islam, pekerjaan Pemimpin Umum Radar Jogja,
kewarganegaraan Indonesia, alamat Perum Griya Abadi Nomor 1-2
RT.004, RW.001 Desa Bilaporah, Kecamatan Socah, Kabupaten
Bangkalan, Provinsi Jawa Timur;
Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------- Pemohon I;
2. Bersihar Lubis, tempat/tanggal lahir di Gunung Tua Tapanuli Selatan,
25 Februari 1950, agama Islam, pekerjaan Wartawan/kolumnis,
kewarganegaraan Indonesia, alamat Perum Depok Maharaja Blok D
Nomor 06 RT.04/15 Kelurahan Rangkapan Jaya, Kecamatan Pancoran
Mas Kota Depok;
Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------ Pemohon II;
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 19 Maret 2008 dan 24 Maret
2008, kedua Pemohon tersebut di atas memberikan kuasa kepada
Hendrayana, S.H.; Sholeh Ali, S.H.; Muhammad Halim, S.H.; Anggara,
S.H.; Mimi Maftuha, S.H.; Adiani Viviana, S.H.; Irsan Pardosi,S.H.; Bayu
Wicaksono, S.H.; Nawawi Bahrudin, S.H.; Endar Sumarsono, S.H.;
masing-masing sebagai Advokad/Pembela Umum dan Asisten
Advokad/Asisten Pembela Umum dari Kantor Lembaga Bantuan Hukum
Pers yang beralamat di Jalan Prof. Dr. Soepomo, S.H., Komplek Bier
6
Nomor 1 A, Menteng Dalam, Jakarta Selatan – 12870, dalam hal ini
bertindak baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk dan
atas nama pemberi kuasa;
Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------- para Pemohon;
[1.3] Telah membaca permohonan dari para Pemohon;
Telah mendengar dan membaca keterangan dari para Pemohon;
Telah mendengar dan membaca keterangan dari Pemerintah dan
Tim Perumus Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
Telah mendengar dan membaca keterangan Pihak Terkait Dewan
Pers;
Telah mendengar dan membaca keterangan Pihak Terkait Aliansi
Jurnalis Independen;
Telah membaca keterangan Pihak Terkait Persatuan Wartawan
Indonesia;
Telah mendengar keterangan Pihak Terkait Ikatan Jurnalis Televisi
Indonesia;
Telah mendengar dan membaca keterangan ahli dari para
Pemohon;
Telah mendengar dan membaca keterangan saksi dari para
Pemohon;
Telah mendengar dan membaca keterangan ahli dari Pemerintah;
Telah memeriksa bukti-bukti yang diajukan oleh para Pemohon;
Telah membaca keterangan tertulis ad informandum Gerakan
Rakyat Anti Korupsi Indonesia dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan
Hak Asasi Manusia;
Telah membaca kesimpulan dari para Pemohon;
17. HAKIM KONSTITUSI : Prof. Dr. MAHFUD, M.D
PERTIMBANGAN HUKUM
[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah
menguji konstitusionalitas Pasal 310 ayat (1), ayat (2), Pasal 311 ayat
(1), Pasal 316, Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(selanjutnya disebut KUHP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945).
[3.2] Menimbang, sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) harus
mempertimbangkan terlebih dahulu:
1. Apakah Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan a quo;
2. Apakah para Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing)
untuk bertindak selaku Pemohon dalam permohonan a quo.
Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai
berikut:
7
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto
Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4358) dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK), Mahkamah berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk, antara lain, menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
[3.4] Menimbang bahwa permohonan a quo adalah permohonan
pengujian undang-undang, in casu KUHP, terhadap UUD 1945. Oleh
karena itu, Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan
memutusnya.
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon
[3.5] Menimbang bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Dengan demikian agar suatu pihak dapat diterima kedudukan hukumnya
dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945,
pihak dimaksud terlebih dahulu harus:
a. menjelaskan kedudukannya apakah sebagai perorangan warga negara
Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum, atau
lembaga negara;
b. menjelaskan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas.
[3.6] Menimbang pula, sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal
31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September
2007, serta putusan-putusan selanjutnya, Mahkamah berpendapat
bahwa untuk dapat dikatakan ada kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional harus dipenuhi syarat-syarat:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon
dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian;
8
c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian
dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan,
maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau
tidak lagi terjadi;
[3.7] Menimbang bahwa para Pemohon, baik Pemohon I maupun
Pemohon II, masing-masing telah menjelaskan kedudukannya sebagai
berikut:
1. Pemohon I, Risang Bima Wijaya, S.H., adalah perorangan warga negara
Indonesia yang berprofesi sebagai wartawan;
2. Pemohon II, Bersihar Lubis, adalah warga negara Indonesia yang
berprofesi sebagai kolumnis/wartawan.
Dengan keterangan para Pemohon sebagaimana diuraikan pada angka 1
dan 2 di atas, maka para Pemohon telah memenuhi salah satu syarat
pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang,
sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK. Hal yang selanjutnya
harus dipertimbangkan oleh Mahkamah, apakah dalam kedudukan
demikian hak konstitusional para Pemohon telah dirugikan oleh
berlakunya Pasal 310 ayat (1), ayat (2), Pasal 311 ayat (1), Pasal 316,
dan Pasal 207 KUHP;
[3.8] Menimbang bahwa dalam menjelaskan anggapannya tentang
kerugian hak konstitusionalnya sebagai akibat berlakunya Pasal 310 ayat
(1), ayat (2), Pasal 311 ayat (1), Pasal 316, Pasal 207 KUHP,
sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara
putusan ini, para Pemohon mengajukan argumentasi yang pada
pokoknya sebagai berikut:
[3.8.1] Pemohon I
a. Bahwa Pemohon I, Risang Bima Wijaya, S.H., sebagai wartawan, telah
menulis berita di Harian Radar Jogja tentang dugaan pelecehan seksual
yang dilakukan oleh Soemardi Martono Wonohito, Pemimpin Harian
Umum Kedaulatan Rakyat/Direktur BP SKH Kedaulatan Rakyat
Yogyakarta. Berita tersebut, menurut Pemohon, bertujuan untuk
memberikan informasi atas kejadian yang dilakukan oleh tokoh
masyarakat yang cukup dipandang. Dalam menulis berita tersebut,
Pemohon I telah memberitakan fakta dan menyebut narasumber yang
jelas, serta telah berusaha minta konfirmasi kepada Soemardi Martono
Wonohito, baik melalui telepon, surat, bahkan datang langsung ke kantor
yang bersangkutan;
b. Bahwa akibat pemberitaan sebagaimana diuraikan pada huruf a,
Pemohon I telah dilaporkan kepada Polisi dengan tuduhan melakukan
pencemaran nama baik. Kemudian, Pemohon I diajukan ke pengadilan
9
dengan dakwaan pertama melanggar Pasal 311 ayat (1) juncto Pasal 64
ayat (1) KUHP atau dakwaan kedua melanggar Pasal 310 ayat (2) juncto
Pasal 64 ayat (1) KUHP atau dakwaan ketiga melanggar Pasal 310 ayat
(1) juncto Pasal 64 KUHP;
c. Bahwa oleh pengadilan, Pemohon I diputus bersalah karena terbukti
secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penghinaan atau
pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 310 ayat (2)
juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP, di mana putusan tersebut telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (Bukti P-7, P-8, P-9);
d. Bahwa, menurut Pemohon I, dengan kejadian yang dialaminya,
Pemohon I menganggap hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal
28E ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 28F UUD 1945 telah dirugikan oleh
pemberlakuan pidana penjara pada Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat
(2), dan Pasal 311 ayat (1) KUHP.
[3.8.2] Pemohon II
a. Bahwa Pemohon II, Bersihar Lubis, seorang kolumnis dan wartawan,
telah menulis di kolom opini Koran Tempo yang dimuat pada tanggal 17
Maret 2007 dengan judul “Kisah Interogator yang Dungu”. Tulisan opini
Pemohon II tersebut berkaitan dengan adanya pelarangan peredaran
buku teks pelajaran SMP dan SMU oleh Kejaksaan Agung pada tanggal 5
Maret 2007 dengan alasan karena tidak mencantumkan sejarah tentang
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun pada 1948
dan Peristiwa Pemberontakan PKI pada 1965;
b. Bahwa, menurut Pemohon II, tulisan itu dibuat di samping karena telah
timbulnya pendapat pro dan kontra terhadap pelarangan yang dilakukan
oleh Kejaksaan Agung tersebut, juga karena terdorong oleh pertanyaan
apakah pelarangan tersebut telah didasari oleh telaah ilmiah dari para
sejarawan ataukah karena sekadar kekuasaan;
c. Bahwa judul tulisan opini “Kisah Interogator yang Dungu” itu Pemohon II
ambil kisah Joesoef Isak yang ditulis oleh Majalah Medium saat berbicara
pada “Hari Sastra Indonesia” di Paris pada Oktober 2004 di mana saat
itu ia menceriterakan tentang kejadian ketika ia diinterogasi oleh
Kejaksaan Agung karena menerbitkan buku-buku karya Pramudya
Ananta Toer;
d. Bahwa, sebagai akibat dari tulisan yang dibuatnya itu, Pemohon II telah
diadili dan divonis satu bulan penjara dengan masa percobaan tiga bulan
oleh Pengadilan Negeri Depok karena terbukti bersalah melakukan
penghinaan dengan tulisan terhadap penguasa umum sebagaimana
dimaksud Pasal 207 KUHP (Bukti P-20);
e. Bahwa berdasarkan uraian pada huruf a sampai dengan d di atas,
Pemohon II menganggap bahwa pemberlakuan pidana penjara pada
Pasal 310 ayat (1), Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP telah merugikan hakhak
konstitusionalnya dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal
28E ayat (2), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28F UUD 1945.
[3.9] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pada paragraf [3.7] dan
[3.8] di atas, Mahkamah berpendapat bahwa baik Pemohon I maupun
10
Pemohon II telah memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing)
untuk bertindak selaku Pemohon dalam permohonan a quo. Oleh karena
itu, selanjutnya Mahkamah harus mempertimbangkan pokok
permohonan.
18. HAKIM KONSTITUSI : Dr. ARSYAD SANUSI, S.H., M.Hum
Pokok Permohonan
[3.10] Menimbang bahwa yang menjadi pokok permohonan dan
sekaligus isu konstitusional dari permohonan a quo adalah
konstitusional-tidaknya pidana penjara sebagaimana diatur dalam Pasal
207, Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2), Pasal 311 ayat (1), dan Pasal
316 KUHP. Pasal-pasal dalam KUHP tersebut masing-masing berbunyi
sebagai berikut:
• Pasal 207 KUHP, “Barang siapa yang dengan sengaja di muka umum
dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum
yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu
tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”;
• Pasal 310 ayat (1) KUHP, “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan
atau nama baik seseorang, dengan menuduh sesuatu hal, yang
maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam, karena
pencemaran, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau
denda paling banyak tiga ratus rupiah”;
• Pasal 310 ayat (2) KUHP, “Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau
gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka
umum, maka yang bersalah, karena pencemaran tertulis, diancam
pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling
banyak tiga ratus rupiah”;
• Pasal 311 ayat (1) KUHP, “Jika yang melakukan kejahatan pencemaran
atau pencemaran tertulis, dalam hal dibolehkan untuk membuktikan
bahwa apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan
tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia
diancam karena melakukan fitnah, dengan pidana penjara paling lama
empat tahun”;
• Pasal 316 KUHP, “Pidana yang ditentukan dalam pasal-pasal sebelumnya
dalam bab ini, dapat ditambah dengan sepertiga, jika yang dihina adalah
seorang pejabat pada waktu atau karena menjalankan tugasnya yang
sah”.
Oleh para Pemohon, Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2), Pasal 311
ayat (1) KUHP tersebut didalilkan bertentangan dengan Pasal 28E ayat
(2), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28F UUD 1945. Sedangkan, Pasal 207
dan Pasal 316 KUHP didalilkan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1),
Pasal 28E ayat (2), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28F UUD 1945.
Adapun Pasal 27 ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28E ayat (3), dan
Pasal 28F UUD 1945 dimaksud, masing-masing berbunyi sebagai berikut:
11
• Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”;
• Pasal 28E ayat (2) UUD 1945, “Setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati
nuraninya”;
• Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, “Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”,
• Pasal 28F UUD 1945, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”;
[3.11] Menimbang, selanjutnya, guna mendukung dalil-dalilnya, para
Pemohon di samping mengajukan bukti-bukti tulis telah pula
mengajukan saksi dan ahli yang didengar keterangannya di hadapan
Mahkamah dan/atau memberi keterangan tertulis, sebagaimana
selengkapnya dapat dibaca pada bagian Duduk Perkara putusan ini.
Saksi dan ahli dimaksud pada pokoknya menerangkan hal-hal sebagai
berikut:
[3.11.1] Saksi Pemohon, Kho Seng-Seng
Dalam persidangan tanggal 24 Juni 2008, saksi menerangkan bahwa
pernah menulis surat pembaca di sebuah harian nasional yang
menceriterakan penipuan yang dilakukan oleh pengembang PT. Duta
Pertiwi Tbk. Pengembang yang bersangkutan kemudian membantahnya
lewat media yang sama dan kemudian memaksa saksi namun saksi
bertahan. Kemudian saksi menulis surat pembaca lagi dan dimuat di dua
harian ibukota yang menceriterakan ancaman yang dilakukan oleh
pengembang dimaksud (PT. Duta Pertiwi Tbk) yang ditujukan kepada
ribuan konsumen pembeli kios. Surat pembaca ini pun kembali dibantah
oleh PT. Duta Pertiwi Tbk. Dengan dasar dua tulisan itu, saksi kemudian
dilaporkan oleh PT. Duta Pertiwi Tbk ke Mabes Polri dengan tiga
tuduhan: penghinaan, pencemaran nama baik, dan perbuatan tidak
menyenangkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 310, Pasal 311, dan
Pasal 335 KUHP.
[3.11.2] Saksi Pemohon, Ahmad Taufik
Dalam persidangan tanggal 23 Juli 2008, saksi menerangkan bahwa
dirinya bersama dengan rekannya, Teuku Iskandar Ali, yang sama-sama
wartawan Majalah Tempo, oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat telah
didakwa dengan yang didasarkan pada Pasal 311 ayat (1) dan Pasal 310
ayat (1) KUHP berkait dengan tulisan jurnalistiknya yang dimuat di
Majalah Tempo, edisi 3/9 Maret 2003, dengan judul “Ada Tomy Di
Tenabang?”. Saksi dianggap telah melakukan perbuatan
menyebarluaskan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja
12
menerbitkan keonaran, dan mencemarkan nama baik pengusaha Tommy
Winata. Akibat dakwaan tersebut, saksi menjadi tidak fokus pada
pekerjaannya, ditolak oleh narasumber penting, keluarga saksi mendapat
teror, dan saksi merasa ruang geraknya terbatasi dalam mencari berita.
[3.11.3] Ahli Pemohon, Heru Hendratmoko
Ahli Heru Hendratmoko, dalam keterangannya pada persidangan tanggal
24 Juni 2008, menerangkan:
o Bahwa, menurut ahli, sejak reformasi 1998 indeks kebebasan pers di
Indonesia merosot ke posisi rata-rata 100 di antara 150-an negara yang
disurvei. Ancaman terhadap kebebasan pers tersebut, antara lain, datang
dari pasal-pasal KUHP tentang penghinaan dan pencemaran nama baik.
Melalui pasal-pasal yang, menurut ahli, interpretasinya sangat subjektif
tersebut, wartawan selalu menghadapi ancaman pemeriksaan kepolisian
atau kejaksaan dan selanjutnya diadili seolah-olah penjahat;
o Bahwa, menurut ahli, pasal-pasal dalam KUHP tersebut merupakan pasal
karet yang mencederai cita-cita menuju negara-bangsa yang demokratis
dan berkeadilan, lebih-lebih ketika perlindungan atas kebebasan
memperoleh dan menyampaikan informasi telah dijamin oleh UUD 1945;
o Bahwa, menurut ahli, pasal-pasal penghinaan dan pencemaran nama
baik tidak boleh dikenakan kepada wartawan yang sedang menjalankan
tugas jurnalistiknya. Sepanjang domain pemberitaan masih berada dalam
ruang lingkup kepentingan publik, wartawan dan media yang
menyiarkannya harus dilindungi.
o
[3.11.4] Ahli Pemohon, Atmakusumah Astraatmadja
Ahli Atmakusumah Astraatmadja, dalam persidangan tanggal 23 Juli
2008, menerangkan:
o Bahwa, menurut ahli, mengingat perkembangan demokrasi, dipandang
tidak wajar lagi, bahkan tidak patut, menjatuhkan sanksi pidana penjara
dan denda yang tinggi terhadap pencipta karya-karya pemikiran kreatif,
seperti karya jurnalistik, pendapat, atau ekspresi dan kebebasan pers
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebebasan berekspresi
dan kebebasan menyatakan pendapat;
o Bahwa, menurut ahli, penjatuhan sanksi pidana penjara ataupun denda
yang tinggi kepada wartawan karena karya-karya jurnalistiknya,
demonstran, penceramah atau pembicara dalam diskusi tidak sesuai
dengan standar internasional tentang kebebasan berekspresi dan
menyatakan pendapat. Oleh karena itu, sejumlah negara telah
menghapus ketentuan pidana tentang pencemaran nama baik
(defamation), penghinaan (insult), fitnah (slander, libel), dan kabar
bohong atau kabar tidak pasti (false news), dengan alasan: (i) sukar
dibuktikan secara faktual karena sering lebih merupakan pendapat,
bukan pernyataan fakta; (ii) sifatnya relatif sangat bergantung pada
perasaan dan pendapat yang subjektif; (iii) karena itu menimbulkan
banyak tafsiran (multi-interpretable); (iv) tidak menimbulkan kerusakan
13
yang bersifat tetap (permanent damage). Dalam hal yang menyangkut
karya jurnalistik, “kerugian sementara” akibat pemberitaan pers dapat
selalu diperbaiki melalui upaya perbaikan dalam waktu cepat seperti
klarifikasi, konfirmasi, ralat, hak koreksi, dan hak jawab;
o Bahwa, menurut ahli, ada negara yang mensyaratkan bahwa
penghapusan ketentuan pidana dimaksud berlaku bagi pers sepanjang
karya jurnalistiknya dibuat dengan niat baik (in good faith) dan demi
kepentingan umum (public interest). Beberapa negara mengubah
ketentuan pidana tersebut menjadi ketentuan hukum perdata dengan
sanksi denda proporsional agar: (i) tidak menyulitkan kehidupan atau
membangkrutkan perusahaan; (ii) tidak membuat takut untuk tetap
berekspresi serta mengemukakan pendirian dan sikap;
o Bahwa, menurut ahli, sudah saatnya dibentuk Mahkamah Hak Asasi
Manusia Asia (Asian Court of Human Rights), bila prosedur naik banding
tidak efektif untuk menjamin kebebasan berekspresi, termasuk
kebebasan pers dan kebebasan menyatakan pendapat. Hal itu
mengingat seringnya dijatuhkannya sanksi pidana dan sanksi perdata
berupa ganti rugi yang tinggi terhadap suatu karya jurnalistik;
o Bahwa, menurut ahli, secara historis, teoritis, maupun faktual, pasalpasal
yang memuat ancaman pidana bagi perbuatan yang dianggap
penghinaan terhadap Pemerintah terbukti anti demokrasi dan
dipergunakan Pemerintah Indonesia untuk membunuh kritik dan kontrol
sosial.
[3.11.5] Ahli Pemohon, Nono Anwar Makarim
Ahli Nono Anwar Makarim, pada persidangan tanggal 23 Juli 2008,
menerangkan:
o Bahwa, menurut ahli, kriminalisasi penghinaan atau pencemaran nama
baik bermula dari abad ke-13 di Inggris yang dimaksudkan untuk
menjaga ketertiban umum, di mana seorang yang merasa dihina
menganggap wajib menantang si penghina sehingga menimbulkan
kegaduhan. Maka, pada tahun 1275, dibuatlah ketentuan yang disebut
scandalum magnatum dalam Statute of Wesminster yang bertujuan
untuk memulihkan nama baik secara damai;
o Bahwa, menurut ahli, kondisi pada abad ke-21 ini sudah tidak sesuai lagi
dengan kondisi pada abad ke-13 tersebut, di mana dalam hal
penghinaan pada umumnya orang lebih suka menuntut ganti rugi. Ada
suatu anomali sistemik jika perbuatan yang menimbulkan akibat
privaatrechtelijk harus dicarikan syarat dan cirinya dalam kumpulan
perundang-undangan yang berlaku secara publiekrechtelijk;
o Bahwa, menurut ahli, penghinaan merupakan perbuatan pidana yang
hanya dapat ditujukan kepada orang-perorangan. Perbuatan pidana
dalam pasal-pasal tentang penghinaan dalam KUHP adalah termasuk
dalam kategori delik aduan dan hukum pengaduan pada dasarnya adalah
hukum orang-perorangan. Sementara, Pasal 207 dan Pasal 208 KUHP
14
mengancam hukuman penjara bagi barang siapa yang menghina badan
yang berwenang atau otoritas publik di Indonesia;
o Bahwa, menurut ahli, Pasal 207 dan Pasal 208 KUHP sengaja
mengesampingkan maksud dan tujuan pembuat undang-undang
membatasi korban penghinaan hanya pada orang-perorangan. Pasal 207
dan 208 KUHP sengaja diciptakan untuk meniadakan kesempatan pihak
tertuduh membuktikan kebenaran tuduhan yang termaktub dalam
penghinaannya;
o Bahwa, menurut ahli, Pasal 207 dan Pasal 208 KUHP merupakan
pengecualian kolonial atas asas konkordansi yang berlaku bagi Nederland
dan jajahannya;
o Bahwa, menurut ahli, Pasal 207 dan Pasal 208 KUHP melanggar asas
kedaulatan rakyat, yaitu bahwa status pejabat dan pemerintah diperoleh
sepenuhnya atas hak suveren rakyat, oleh karena itu wajib membuka diri
serta tunduk pada kritik rakyat.
[3.11.6] Ahli Pemohon, Yenti Garnasih
Ahli Yenti Garnasih, dalam persidangan tanggal 23 Juli 2008,
menerangkan:
o Bahwa, menurut ahli, sesuai dengan dalil ultimum remedium, maka
hukum pidana adalah sarana terakhir dalam menentukan perbuatan apa
saja yang harus dikriminalisasi. Untuk menentukan perbuatan mana yang
akan dikriminalisasi terdapat syarat, antara lain, perbuatan itu tercela,
merugikan dan mendapat pengakuan secara kemasyarakatan, serta ada
kesepakatan untuk mengkriminalisasi. Juga harus dipikirkan agar jangan
sampai terjadi over criminalization;
o Bahwa, menurut ahli, yang mengutip pendapat Hoenagels, penting untuk
mempertimbangkan berbagai faktor dalam melakukan kriminalisasi untuk
menjaga dalil ultimum remedium dan tidak terjadinya over
criminalization, yaitu: (a) jangan menggunakan hukum pidana dengan
cara emosional; (b) jangan menggunakan hukum pidana untuk
memidana perbuatan yang tidak jelas korban atau kerugiannya; (c)
jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugian yang ditimbulkan
dengan pemidanaan akan lebih besar daripada kerugian oleh tindak
pidana yang akan dirumuskan; (d) jangan menggunakan hukum pidana
apabila tidak didukung oleh masyarakat secara kuat; (e) jangan
menggunakan hukum pidana apabila penggunaannya diperkirakan tidak
akan efektif; (f) hukum pidana dalam hal-hal tertentu harus
mempertimbangkan secara khusus skala prioritas kepentingan
pengaturan; dan (g) hukum pidana sebagai sarana represif harus
digunakan secara serentak dengan sarana pencegahan.
o Bahwa sehubungan dengan delik pelanggaran terhadap harkat martabat
atau penghinaan, menurut ahli, pengaturannya di masa yang akan
datang harus dilakukan kajian perbandingan yang melibatkan, antara
lain, ahli-ahli sosiologi hukum dan kriminologi. Sehingga, jika dimasukkan
sebagai kejahatan ringan maka harus dipikirkan untung-ruginya
15
memidana seseorang, sedangkan jika pidananya lebih berat maka harus
dipikirkan kepentingan masyarakat yang terancam yaitu tersumbatnya
saluran kebebasan berpendapat.
19. HAKIM KONSTITUSI : Dr. MUHAMMAD ALIM, S.H., M.Hum
[3.11.7] Ahli Pemohon, Toby Mendel
Ahli Toby Mendel, dalam persidangan tanggal 23 Juli 2008,
menerangkan:
o Bahwa, menurut ahli, resolusi PBB pada Sidang Umum PBB tahun 1946
telah membicarakan pentingnya kebebasan berpendapat sebagai aspek
dari demokrasi dan hal itu telah diperkuat oleh Mahkamah Internasional
dan semua mahkamah hak asasi manusia regional di seluruh dunia.
Alasannya: (a) kebebasan berpendapat merupakan dasar dari demokrasi;
(b) kebebasan berpendapat dapat dipakai sebagai sarana untuk
memberantas korupsi; (c) kebebasan berpendapat dapat meningkatkan
akuntabilitas; (d) kebebasan berpendapat merupakan cara terbaik untuk
menemukan kebenaran.
o Bahwa namun demikian, menurut ahli, kebebasan berpendapat tidaklah
bersifat mutlak melainkan dapat dibatasi dengan alasan untuk menjamin
hak dari orang lain, untuk menjamin keamanan nasional, dan untuk
menjamin ketertiban umum. Agar pembatasan tersebut memiliki
legitimasi, maka (a) pembatasan itu diatur dalam undang-undang, (b)
pembatasan itu harus memiliki tujuan yang legitimate. Masih terkait
dengan pembatasan tersebut, ahli juga berpendapat bahwa, pertama,
pembatasan kebebasan berpendapat harus dirancang secara hati-hati
untuk memfokuskan diri pada perlindungan tercapainya tujuan yang
legitimate; kedua, pembatasan tidak boleh terlalu luas; ketiga,
pembatasan harus seimbang atau proporsional;
o Bahwa pengenaan sanksi pidana terhadap pencemaran nama baik,
menurut ahli, pada saat ini sudah tidak relevan lagi dengan alasan pada
awalnya (abad ke-13 dan 14) pencemaran nama baik bersifat finah,
sedangkan saat ini tidak ada lagi pernyataan yang bersifat fitnah karena
setiap negara melalui berbagai hukum telah secara efektif melindungi
ketertiban umum. Saat ini, banyak negara mengandalkan sanksi perdata
untuk pencemaran nama baik;
o Bahwa ahli tidak melihat adanya hubungan pencemaran nama baik
dengan ketertiban umum. Meskipun pencemaran nama baik memang
menimbulkan masalah dalam masyarakat, namun menurut Ahli masalah
tersebut tidak perlu ditangani secara ekstrim dengan pidana penjara
melainkan cukup dengan hukum perdata;
o Bahwa ahli mengakui kalau setiap negara mempunyai budaya yang
berbeda sehingga dalam menilai reputasi akan terdapat pandangan yang
berbeda pula. Ada kalanya, di satu negara suatu pernyataan dianggap
dapat merusak reputasi tetapi tidak demikian halnya di negara lain.
Namun, ahli berpendapat, perbedaan budaya demikian tidak penting
16
atau kurang penting dipersoalkan dalam kaitannya dengan penerapan
sanksi pidana untuk pencemaran nama baik.
o
[3.11.8] Ahli Pemohon, Ifdhal Kasim
Melalui keterangan tertulisnya, Ahli Ifdhal Kasim menerangkan:
o Bahwa, menurut ahli, kebebasan berekspresi dijamin oleh UUD 1945,
yaitu Pasal 28E ayat (2), dan telah mendapat pengakuan universal,
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 Universal Declaration of Human
Rights (UDHR) dan Pasal 19 ayat (2) International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR);
o Bahwa, menurut ahli, selain menjamin kebebasan berekspresi, hukum
hak asasi manusia juga menjamin hak individu atas kehormatan atau
reputasi (right to honour or reputation), yang dikategorikan ke dalam
hak privasi (privacy rights), yang harus pula mendapat perlindungan
yang setara dengan hak-hak privasi lainnya;
o Bahwa, menurut ahli, salah satu bentuk perlindungan negara terhadap
hak atas kehormatan atau reputasi tersebut adalah dengan
mencantumkannya dalam hukum pidana nasionalnya, yaitu dengan
melakukan kriminalisasi terhadap setiap serangan atau perbuatan yang
merampas atau merusak integritas setiap orang (crimes against integrity
of person), seperti pencemaran nama baik (defamation), penghinaan
(slander), hingga fitnah atau menista (libel). Hampir semua negara
demokratis telah melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan demikian,
yang tujuannya adalah memberikan perlindungan kepada integritas
seseorang;
o Bahwa, menurut ahli, hukum nasional Indonesia, melalui Pasal 28G ayat
(1) UUD 1945 juga memberikan perlindungan kepada hak atas
kehormatan dan reputasi. Demikian pula halnya dengan Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 29 ayat (1).
Selanjutnya, kriminalisasi terhadap hak-hak tersebut sudah tertuang
dalam hukum pidana nasional, antara lain Pasal 310, Pasal 311, Pasal
326, dan Pasal 207 KUHP. Namun, perlindungan terhadap hak atas
kehormatan dan reputasi itu harus pula dilihat relasinya dengan
keberadaan hak lain, hak atas kebebasan berbicara (freedom of speech),
kebebasan berekspresi (freedom of expression), dan kebebasan pers
(freedom of the press) yang juga harus dilindungi oleh negara. Jangan
sampai kriminalisasi terhadap perbuatan yang menyerang kehormatan
dan reputasi tersebut menjadi senjata ampuh dalam menghadapi
kebebasan berbicara atau kebebasan pers. Namun, saat ini, menurut
ahli, semakin banyak negara yang meninggalkan tindak pidana
menyerang reputasi dan kehormatan, artinya negara-negara tersebut
telah menghapus defamation, slander, insult, false news (kabar bohong)
sebagai tindak pidana dalam hukum pidananya;
o Bahwa, menurut ahli, karena adanya relasi antara hak atas kebebasan
berekspresi dan hak atas kehormatan atau reputasi yang sama-sama
harus dijamin oleh negara, maka negara dapat melakukan pengurangan
17
atau pembatasan terhadap kedua hak tersebut, namun pengurangan
atau pembatasan tersebut harus dilandaskan pada (i) dinyatakan melalui
hukum (prescribed by law); (ii) ketertiban umum (public order); (iii)
kesehatan moral dan publik (moral and public health); (iv) keamanan
nasional (national security); (v) keamanan publik (public safety); (vi) hak
dan kebebasan orang lain (rights and feedoms of others); (vii) hak dan
reputasi orang lain (rights and reputation of others); dan (viii) diperlukan
dalam masyarakat yang demokratis (necessary in a democratic society).
Prinsip pembatasan yang demikian juga dianut oleh UUD 1945, Pasal
28J;
o Bahwa, menurut ahli, delik pencemaran nama baik atau penghinaan
dalam KUHP rumusannya terlalu luas dan tidak sebanding antara
kerugian yang ditimbulkan dan hukum yang ditimpakan kepada
pelanggarnya. Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia untuk meninjau
penghapusan sanksi pemenjaraan bagi tindak pidana penghinaan atau
pencemaran nama baik.
[3.12] Menimbang bahwa Mahkamah juga telah mendengar keterangan
Pihak Terkait Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI), dan Dewan Pers yang pada pokoknya telah
menerangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.12.1] Keterangan Pihak Terkait AJI
Pihak Terkait Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menerangkan:
• Bahwa, menurut AJI, kebebasan berekspresi dan kemerdekaan
menyatakan pendapat, baik secara lisan maupun tertulis pada dasarnya
merupakan hak setiap warga negara yang dilindungi oleh konstitusi
sebagaimana tercantum dalam Pasal 28E ayat (2), Pasal 28E ayat (3)
dan Pasal 28F, Pasal 28I Perubahan Kedua UUD 1945; Pasal 19, Pasal 20
dan Pasal 21 Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM;
Pasal 14, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 5 Undang-Undang HAM; Pasal 1
juncto Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pers; dan Pasal 19 ayat (1) dan
ayat (2) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi
melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005; Pasal 14, Pasal 23 ayat
(2) dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM;
• Bahwa, menurut AJI, dalam beberapa tahun terakhir, muncul
kecenderungan pembungkaman pers dan pembangkrutan institusi media
oleh pejabat-pejabat publik dan para pengusaha yang merasa dirugikan
oleh pemberitaan pers melalui gugatan hukum ke pengadilan dengan
menggunakan Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2) Pasal 311 ayat (1),
Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP;
• Bahwa, menurut AJI, penjatuhan sanksi terhadap gugatan pencemaran
nama baik yang dialami oleh jurnalis dan media, pada dasarnya
merupakan suatu pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi,
kemerdekaan menyatakan pendapat baik secara lisan ataupun tertulis
yang merupakan hak setiap warga negara yang dilindungi oleh
konstitusi. Begitu juga dengan pemberian sanksi hukuman atas kasus
18
gugatan pencemaran nama baik yang dijatuhkan kepada warga
masyarakat lainnya, juga merupakan pelanggaran konstitusi. Karena
kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat merupakan salah satu
bentuk kontrol sosial yang dimiliki oleh warga negara dan merupakan
perwujudan dari demokrasi, maka pemberlakuan pidana penjara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2),
Pasal 311 ayat (1) KUHP telah membatasi hak atau kewenangan
konstitusional dan bertentangan dengan konstitusi dan prinsip negara
hukum yang demokratis yang menjunjung tinggi hak asasi manusia,
sebagaimana amanat UUD 1945;
• Bahwa, menurut AJI, adanya sanksi pidana pada Pasal 310 ayat (1),
Pasal 310 ayat (2), Pasal 311 ayat (1) KUHP serta pemberian hak
istimewa kepada penguasa atau badan umum Indonesia, yang terdapat
pada Pasal 316 serta Pasal 207 KUHP, merupakan suatu bentuk
pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat
yang merupakan hak konstitusional setiap warga negara yang dilindungi
oleh konstitusi.
[3.12.2] Keterangan pihak terkait PWI
Pihak terkait Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada pokoknya
menerangkan:
• Bahwa adanya wartawan atau pers nasional yang dilaporkan atau
digugat atau terlibat masalah hukum adalah tidak lepas dari tidak
berfungsinya secara maksimal Dewan Pers. Padahal, apabila Dewan Pers
melaksanakan fungsinya secara maksimal, seperti dijelaskan dalam Pasal
15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, PWI
yakin para wartawan dan pers nasional tidak perlu takut akan ancaman
hukuman apapun;
• Bahwa, menurut penilaian PWI, selama ini Dewan Pers terkesan hanya
membela mati-matian wartawan atau pers nasional tanpa melakukan
pengkajian untuk mengembangkan kehidupan pers. Dalam perkara ini,
Dewan Pers mestinya bersifat netral, tidak memihak wartawan atau pers
nasional dan tidak juga memihak Pemerintah;
• Bahwa, berdasarkan pengamatan PWI selama ini, semakin maraknya
pelanggaran pers sekarang ini tidak lepas dari andil Dewan Pers yang
tidak tepat sasaran. Angin surga dari Dewan Pers telah membuat
wartawan dan pers nasional terlena dan merasa dirinya kelompok yang
harus diistimewakan;
• Bahwa, menurut PWI, mengenai permohonan pengujian Pasal 310 ayat
(1), Pasal 310 ayat (2), Pasal 311 ayat (1), Pasal 316, dan Pasal 207 ayat
(1) KUHP terhadap UUD 1945 yang diajukan Pemohon sangat
berlebihan. Sebaliknya, menurut PWI, pasal-pasal tersebut di atas malah
menjamin pelaksanaan Pasal 28E ayat (2), ayat (3) dan Pasal 28F UUD
1945;
• Bahwa, Pemohon sebagai wartawan mempersoalkan pasal-pasal dalam
KUHP tersebut, menurut PWI, tidak tepat karena pasal-pasal yang
19
dipersoalkan itu tidak semata-mata ditujukan kepada wartawan atau
pers tetapi berlaku untuk semua. Semestinya, Pemohon dalam
memperjuangkan perlindungan hukum atas profesinya harus memahami
ketentuan hukum yang berlaku dan mengusulkan penyempurnaan
Undang-Undang tentang Pers melalui wadah yang tepat dan bukan
hanya dimonopoli oleh organisasi pers atau kelompok tertentu;
• Bahwa mengenai pasal-pasal dalam KUHP sekarang yang sudah tidak
sesuai lagi dengan keadaan, tentu sudah ada niat baik dari Pemerintah
dan DPR untuk merevisinya. Disinilah perjuangan insan pers atau
organisasi pers dan tentu harus orang-orang yang memahami hukum
secara benar. Mengenai hukuman yang diterima Pemohon maupun para
wartawan dengan menggunakan pasal-pasal dalam KUHP dan bukan UU
Pers, menurut PWI, merupakan persoalan lain. Mestinya organisasi pers
secara bersama-sama dan bukan jalan sendiri-sendiri seolah-olah mau
menjadi pahlawan untuk memperjuangkan haknya. Organisasi Pers
harus duduk secara bersama-sama membahas masalah perlindungan
hukum kepada wartawan dan pers nasional;
[3.12.3] Keterangan Pihak Terkait Dewan Pers
Dewan Pers, dalam keterangannya di persidangan tanggal 23 Juli 2008
dan keterangan tertulisnya, sebagaimana selengkapnya dimuat dalam
bagian Duduk Perkara Putusan ini, menerangkan:
o Bahwa hak untuk mengeluarkan pendapat dan hak atas perlindungan
kehormatan adalah dua hak konstitusional warga negara Republik
Indonesia yang dijamin oleh UUD 1945. Bagaimana bila kedua hak
tersebut berbenturan, Dewan Pers tidak memberikan jawaban atas
pertanyaan ini melainkan hanya merujuk Pasal 28J ayat (2) UUD 1945,
dan dengan itu kemudian menyatakan undang-undang yang mengatur
pembatasan hak asasi manusia tidak dapat disusun sembarangan, tetapi
harus mencerminkan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat
demokratis;
o Bahwa ancaman pidana penjara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2), Pasal 311 ayat (1) KUHP telah
menimbulkan rasa takut yang berlebihan dan dampaknya masyarakat
tidak akan menerima informasi dari beragam gagasan dan sudut
pandang karena banyak orang yang ketakutan dan tidak mau mengambil
risiko untuk dipenjara akibat pernyataan pikiran dan pendapatnya;
[3.12.4] Keterangan Pihak Terkait IJTI
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dalam persidangan tanggal 23
Juli 2008, memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut:
o Bahwa IJTI mengakui kalau Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP bukan hanya
untuk pers. Namun, yang paling besar peluangnya untuk terkena
ketentuan tersebut adalah wartawan dan membuat para wartawan
ketakutan dalam menjalankan pekerjaannya untuk menghimpun
informasi dan menyebarkannya kepada publik;
20
o Bahwa dalam menjalankan tugas sebagai wartawan, jika karena ada
kekhilafan atau karena bersikap kritis terhadap hal-hal yang merugikan
dipandang sebagai penghinaan, maka tidak ada lagi dunia yang
demokratis. Kalau keadaan demikian berlanjut maka hak publik untuk
menyatakan pendapat akan tercabut;
o Bahwa pidana penjara bagi jurnalis tidak hanya mematikan jurnalis tetapi
juga merugikan kepentingan publik yang pada gilirannya mencederai
demokrasi.
20. HAKIM KONSTITUSI : Prof. ABDUL MUKHTIE FADJAR, S.H., M.S
[3.13] Menimbang bahwa Mahkamah telah pula meminta keterangan
Tim Penyusun Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pada
persidangan tanggal 24 Juni 2008, sebagaimana selengkapnya telah
diuraikan pada bagian Duduk Perkara putusan ini, yang pada pokoknya
menerangkan hal-hal sebagai berikut:
o Bahwa pasal-pasal yang memuat tindak pidana penghinaan ditujukan
untuk melindungi kehormatan dan nama baik seseorang dan mendorong
agar setiap orang menghormati atau memperlakukan secara terhormat
orang lain sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Sebab,
kehormatan dan nama baik seseorang juga dijamin oleh Pasal 28G UUD
1945. Dengan demikian, dalam konteks sekarang, rumusan tindak
pidana penghinaan dalam KUHP adalah bentuk perlindungan hukum
pidana terhadap hak konstitusional setiap orang sebagai bagian dari hak
asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi;
o Bahwa harus dibedakan antara melakukan kritik terhadap seseorang dan
penghinaan. Menghina adalah perbuatan tindak pidana sebab
merupakan kesengajaan untuk menyerang kehormatan atau nama baik
seseorang yang diawali oleh adanya niat jahat (criminal intent) agar
nama baik dan kehormatan orang itu terserang. Jika suatu kritik
didahului, disertai, atau diikuti dengan perbuatan menghina maka yang
dipidana bukanlah perbuatan kritiknya tetapi perbuatan menghinanya;
o Bahwa hubungan antara norma yang merumuskan perbuatan yang
dilarang dan sanksi pidana tidak dapat dipisahkan. Karena itu,
pembahasan mengenai sanksi pidana saja tanpa menghubungkan
dengan norma pelarangannya adalah tidak tepat. Norma pelarangan
berkait dengan kebijakan kriminalisasi yang kemudian diikuti oleh
penalisasi dengan ancaman pidana yang terendah sampai dengan yang
terberat. Sedangkan kebijakan penalisasi berkait dengan pengenaan
sanksi pidana (penal), terutama penjara, terhadap perbuatan tertentu
yang dipandang sebagai perbuatan melawan hukum yang telah dimuat
dalam cabang hukum lain menjadi melawan hukum dalam hukum
pidana, kemudian dikenakan sanksi pidana. Oleh karena itu, pengujian
terhadap ancaman sanksi pidana saja tanpa menguji norma pelarangan
adalah tidak tepat menurut pola pikir hukum pidana. Sebab, keberadaan
sanksi pidana terkait dengan dan tidak bisa dilepaskan dari substansi
21
norma pelarangan, sedangkan ancaman pidana pada pasal terkait
dengan bobot penilaian terhadap tindak pidana yang dirumuskan pada
pasal yang bersangkutan. Jika ancaman sanksi pidana penjara
dihapuskan sedangkan norma hukum pidana atau larangan untuk
melakukan perbuatan dalam pasal itu masih tetap berlaku, maka
terhadap orang yang melakukan tindak pidana menjadi tidak dikenakan
sanksi pidana atau sanksi apa pun;
o Bahwa dalam kaitannya dengan pers, sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dapat dijelaskan:
i. Undang-undang Pers mengatur tentang Pers, kedudukannya sebagai
hukum administrasi yang mengatur bidang pers;
ii. Tindak pidana dimuat dalam Undang-undang Pers termasuk tindak
pidana administrasi di bidang pers (Pasal 18 Undang-Undang Nomor 40
Tahun 1999);
iii. Undang-Undang Pers tidak termasuk sebagai hukum pidana khusus yang
boleh memuat ketentuan pidana yang menyimpang dari kaidah umum
hukum pidana materiil dan hukum pidana formil (lex specialis) atau lebih
diutamakan/didahulukan dari kaidah umum hukum pidana materiil
dan/atau hukum pidana formil. Karena itu, tidak berlaku asas “hukum
pidana khusus mengalahkan hukum pidana umum” bagi Undang-undang
Pers;
o Bahwa rumusan norma pada Pasal 310, Pasal 311, Pasal 316, dan Pasal
207 KUHP, baik mengenai normanya maupun ancaman sanksi
pidananya, tidak secara khusus ditujukan kepada pers atau orang yang
menjalankan profesi pers atau jurnalis, kecuali jika memenuhi syarat:
a. melanggar kode etik dan/atau standar profesi yang berubah menjadi
melawan hukum pidana, melawan hukum pidana administrasi, atau
melawan hukum pidana umum;
b. melanggar hukum administrasi yang mengatur pers yang dapat
menggerakkan hukum pidana, melawan hukum pidana administrasi, atau
melawan hukum pidana umum;
c. melanggar hukum pidana umum yang dilakukan dengan cara
menyalahgunakan profesinya di bidang pers;
o Bahwa jika permohonan dikabulkan, hal itu justru dapat menimbulkan
hilang atau tidak terjaminnya perlindungan umum (general prevention)
setiap orang, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD
1945. Sebab, di kemudian hari jika seseorang dengan sengaja
melakukan tindak pidana pencemaran, penghinaan, fitnah, dan
penistaan, orang itu tidak dipidana atau perbuatan tersebut menjadi
perbuatan yang dibolehkan atau tidak dilarang;
[3.14] Menimbang bahwa Pemerintah telah memberikan keterangan
tertulis yang isinya pada dasarnya sama dengan keterangan yang
diberikan oleh Tim Penyusun Rancangan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.13] di atas;
22
[3.15] Menimbang bahwa Mahkamah telah pula mendengar keterangan
ahli yang diajukan Pemerintah sebagai berikut
[3.15.1] Ahli Pemerintah, Dr. Mudzakkir, S.H., M.H.
Ahli Pemerintah, Dr. Mudzakkir, S.H., M.H., yang keterangan lengkapnya
dimuat pada bagian Duduk Perkara putusan ini, dalam persidangan
tanggal 23 Juli 2008, pada pokoknya menerangkan hal-hal sebagai
berikut:
o Bahwa norma hukum pidana sebagai bagian dari sistem hukum nasional
Indonesia bersifat hierarkhis, menyatu, menyeluruh, dan memiliki jalinan
nilai sehingga membentuk sistem norma atau sistem nilai yang tidak
terpisahkan. Di puncak piramida sistem norma itu terdapat UUD 1945
yang menjadi sumber materiil dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan, juga sebagai norma dasar yang menyatukan
norma-norma hukum nasional Indonesia, termasuk di dalamnya norma
hukum pidana. Oleh karena itu, tidaklah dapat dibenarkan menguji
undang-undang negara Republik Indonesia dengan mendasarkan pada
konstitusi negara lain, karena masing-masing negara memiliki ciri khas
hukum nasionalnya yang cocok dengan ciri khas masyarakat hukumnya;
o Bahwa makna norma hukum dalam hukum pidana dibedakan menjadi
dua, yaitu norma yang merumuskan perbuatan yang dilarang, yang
sering disebut norma perbuatan pidana, dan norma pemidanaan.
Pengujian undang-undang di bidang hukum pidana seharusnya hanya
mengenai normanya dan materi yang dapat diuji haruslah ketentuan
undang-undang yang memuat norma hukum pidana, yaitu norma
perbuatan pidana atau norma pemidanaan atau keduanya;
o Bahwa pengertian umum dari penghinaan adalah penyerangan terhadap
kehormatan atau nama baik seseorang, sedangkan sifat khusus dari
penghinaan atau bentuk-bentuknya berupa: pencemaran [Pasal 310 ayat
(1) KUHP], pencemaran tertulis [Pasal 310 ayat (2) KUHP], fitnah [Pasal
311 KUHP], penghinaan ringan [Pasal 315 KUHP], pengaduan fitnah
[Pasal 317 KUHP], persangkaan palsu [Pasal 318 KUHP], dan penghinaan
terhadap orang yang sudah mati [Pasal 320-321 KUHP]. Jadi, nilai yang
hendak dilindungi atau ditegakkan oleh pasal-pasal penghinaan yang
diatur dalam Buku II Bab XVI KUHP adalah kehormatan dan nama baik
orang di mata umum;
o Bahwa kehormatan dan nama baik adalah bagian dari hak asasi manusia
yang dilindungi oleh Pasal 28G UUD 1945. Karena kehormatan dan nama
baik meskipun bisa dibedakan pengertiannya namun keduanya tidak
dapat dipisahkan satu dengan yang lain, sehingga menyerang salah satu
darinya sudah cukup untuk seseorang telah melakukan tindak pidana
penghinaan;
o Bahwa, berkenaan dengan perbuatan menyerang kehormatan atau nama
baik pejabat publik, ukurannya bukanlah terletak pada perasaan pribadi
pejabat yang bersangkutan melainkan menurut ukuran publik (objektif)
apakah perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang menyerang
23
kehormatan atau nama baik atau tidak. Pada bagian ini, polisi, jaksa,
demikian juga hakim harus memiliki kepekaan dalam menjaga etika
(moral) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui penafsiran
dalam pasal-pasal dalam delik penghinaan. Melakukan kontrol terhadap
penyelenggara negara adalah bagian dari kehidupan demokrasi yang
dijamin oleh hukum, namun hak untuk menyampaikan kontrol itu harus
dilakukan secara wajar, proporsional, dan mengindahkan norma hukum,
etika, dan norma-norma lain. Sebaliknya, bagi pejabat publik, kritik
biasanya ditujukan kepada perbuatannya sebagai pejabat publik, bukan
kepada dirinya sebagai individu. Oleh sebab itu, meskipun kritik itu
merugikan dirinya sebagai individu, tidak semestinya ia mengadukannya
kepada polisi sebagai pribadi dengan mengatasnamakan jabatannya;
o Bahwa hukum pidana memberikan perlindungan terhadap kehormatan
dan nama baik setiap orang, apa pun statusnya, dan kehormatan jabatan
publik atau penyelenggara negara dengan cara melarang melakukan
perbuatan penghinaan, dengan segala bentuknya, yang menyerang
kehormatan dan nama baiknya. Sehingga, menurut ahli, norma hukum
pidana yang memuat tindak pidana penghinaan, yang diatur dalam Buku
II Bab XVI KUHP, sejalan dengan dan merupakan implementasi
pengaturan lebih lanjut norma hak-hak asasi manusia yang dimuat
dalam UUD 1945, khususnya Pasal 28G, dan Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sehingga penghapusan norma
hukum pidana tentang penghinaan dalam KUHP tidak sesuai dan
bertentangan dengan nilai dan norma hukum yang hendak ditegakkan
oleh Konstitusi;
o Bahwa hukum pidana tidak ditujukan kepada orang tertentu atau orang
yang menjalankan profesi tertentu. Jika ditujukan kepada subjek hukum
tertentu, norma hukum pidana menyebutkan secara khusus, karena
tindak pidana tersebut secara substantif hanya mungkin dilakukan oleh
orang tertentu atau terkait dengan suatu profesi tertentu. Ketentuan
demikian merupakan pengecualian dari rumusan hukum pidana yang
bersifat umum. Norma hukum pidana yang mengatur delik penghinaan
dalam Pasal 310, 311, 316, dan 207 KUHP tidak ditujukan secara khusus
kepada orang-orang yang menjalankan profesi di bidang pers atau
jurnalis, sehingga dapat dikenakan kepada siapa saja, termasuk jurnalis,
sepanjang terbukti melawan hukum dan telah memenuhi unsur-unsur
tindak pidana;
o Bahwa fungsi hukum pidana dan sanksi pidana terhadap norma hukum
lain adalah mendorong atau memaksa agar ditaatinya norma hukum lain
tersebut. Oleh sebab itu, memahami norma hukum pidana harus dalam
kaitannya dengan norma lain dalam sistem hukum nasional. Norma
hukum pidana tidak akan memiliki makna sebagai suatu norma hukum
tanpa dihubungkan dengan norma lain;
o Bahwa pengujian terhadap materi perbuatan yang dilarang atau tindak
pidana yang dimuat dalam KUHP harus ditafsirkan sebagai satu kesatuan
pemahaman mengenai dasar dilarangnya suatu perbuatan. Bahkan,
24
sebagai bagian dari sistem hukum nasional, di samping harus dikaitkan
dengan sistem hukum pidana, juga harus dikaitkan dengan sistem
hukum nasional secara keseluruhan. Dengan demikian, pemahaman satu
pasal dalam hukum pidana harus ditafsirkan menurut nilai, asas, dan
kepentingan hukum yang hendak dilindungi melalui pasal tersebut:
1. harus cocok dengan kepentingan hukum yang hendak dilindungi dalam
paragraf, bagian, dan bab dalam KUHP; dan
2. kepentingan hukum serta nilai hukum yang hendak dilindungi dan
ditegakkan melalui bidang atau cabang hukum lain non-pidana dalam
sistem hukum nasional Indonesia.
[3.15.2] Ahli Pemerintah, Djafar Husin Assegaff
Ahli Djafar Husin Assegaff, dalam persidangan tanggal 23 Juli 2008
menerangkan:
o Bahwa, menurut ahli, Pasal 310 ayat (1) dan (2), Pasal 311 ayat (1),
Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP masih perlu dipertahankan karena
menjamin kehormatan dan nama baik tiap anggota masyarakat dari
pemberitaan media massa, yang menjunjung tinggi fakta dan kebenaran
dalam proses pekerjaan jurnalistiknya, serta menjaga kehormatan dan
nama baik setiap anggota masyarakat. Pasal-pasal tersebut harus
dihormati oleh setiap wartawan. Wartawan harus mengenal sistem
hukum yang berlaku di tempatnya bekerja, demikian pula pranatapranata
sosial di dalam lingkungannya;
o Bahwa, menurut ahli, seorang wartawan harus berhati-hati dalam
pemberitaannya jika menyentuh reputasi dan nama baik seseorang.
Pencemaran nama baik adalah tindakan tidak terpuji dan keluar dari
nilai-nilai jurnalistik yang tinggi. Proses pekerjaan jurnalistik adalah
mengungkap “kebenaran” bersandarkan “fakta” yang telah teruji.
Reporter mencari berita, menulisnya, dan menyerahkannya kepada
redaktur penyunting yang kemudian memeriksanya apakah layak siar
atau tidak, jika layak ia harus menyunting berita tersebut untuk
menghindari: (i) kesalahan fakta atau fakta yang tidak masuk akal, (ii)
menjaga dari kesalahan-kesalahan bahasa, (iii) menjaga agar ia tidak
menimbulkan apa yang lazim disebut libelous sentences or paragraph.
Jika berita itu menimbulkan masalah, ia dibawa ke rapat dengan
Pemimpin Redaksi dan Redaktur Pelaksana. Semua itu dilakukan agar
media dalam penyajian beritanya tidak merugikan reputasi seseorang,
merendahkannya maupun memperolok, atau merugikan reputasi yang
merusak bisnis atau profesinya;
o Bahwa, menurut ahli, media adalah kekuasaan, bahkan kekuasaan
keempat dan kelima (untuk media siaran) sehingga mungkin pula
disalahgunakan. Karena itulah diadakan media ombudsmen yang
menjaga media agar tidak menyimpang dan menghukumnya jika
membuat kesalahan atau pelanggaran etik. Itu dilakukan agar
menjunjung tinggi hukum dan aturan permainan yang ditujukan untuk
menjaga harkat dan martabat manusia. Di bagian akhir keterangannya,
25
ahli juga mengutip A.P. Manual for Libel di Amerika yang menyatakan,
“the publication of libel may result in what is considered a breach of
peace. For that reason, it may constitute a criminal offences”.
[3.16] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima keterangan
ad informandum yang diajukan oleh Perhimpunan Bantuan Hukum
Indonesia (PBHI) dan Gerak Indonesia yang pada dasarnya mendukung
permohonan a quo. Di samping itu, Mahkamah juga menerima
keterangan dari pihak-pihak lain yang terlambat diterima di Kepaniteraan
Mahkamah sehingga Mahkamah tidak perlu mempertimbangkannya;
[3.17] Menimbang bahwa Mahkamah telah membaca kesimpulan para
Pemohon yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 7 Agustus
2008 yang pada pokoknya menerangkan bahwa para Pemohon tetap
pada permohonannya.
21. HAKIM KONSTITUSI : I DEWA GEDE PALGUNA, S.H., M.Hum
Pendapat Mahkamah
[3.18] Menimbang bahwa setelah mendengar keterangan pihak-pihak
sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.11] sampai dengan [3.15] di
atas, Mahkamah selanjutnya akan menyatakan pendiriannya terhadap
permohonan para Pemohon. Namun, oleh karena norma undang-undang
yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah norma
undang-undang hukum pidana, in casu KUHP, khususnya yang mengatur
tentang atau berhubungan dengan nama baik dan kehormatan
seseorang, maka sebelum secara spesifik menyatakan pendiriannya
terhadap dalil-dalil para Pemohon, Mahkamah memandang perlu untuk
terlebih dahulu menyatakan pandangannya tentang kepentingan hukum
apakah yang secara umum dilindungi oleh hukum pidana dan secara
khusus yang berkait dengan martabat atau kehormatan seseorang;
[3.19] Menimbang, menurut doktrin hukum yang diterima secara umum
dalam hukum pidana, bahwa sifat umum tindak pidana atau delik (delict)
adalah perbuatan yang melanggar norma sedemikian rupa sehingga
memperkosa kepentingan hukum orang lain atau membahayakan
kepentingan orang lain. Sementara itu, ada tiga kepentingan hukum
yang dilindungi oleh hukum pidana yaitu kepentingan individu,
kepentingan masyarakat, dan kepentingan negara. Dalam hal
kepentingan hukum individu atau orang perorangan maka yang
dilindungi atau dijamin oleh hukum pidana di mana pun, termasuk yang
diatur dalam KUHP, adalah dapat berupa jiwa (leven), badan (lijt),
kemerdekaan (vrijheid), dan harta benda (vermogen). Dalam
perkembangannya kemudian, di luar keempat hal tersebut, kehormatan
(eer) juga menjadi kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum
pidana karena setiap manusia mempunyai perasaan terhadap
kehormatan (eergevoel) sehingga atas kehormatannya itu setiap
manusia dijamin bahwa kehormatannya tidak akan diperkosa atau
dilanggar. Hak atas perlindungan terhadap kehormatan inilah yang
26
menjadi objek dari tindak pidana penghinaan (de mens heeft het recht
dat zijn eer niet zal worden gekrenkt);
[3.20] Menimbang bahwa sejalan dengan uraian pada paragraf [3.19] di
atas, Pasal 28G UUD 1945 juga dengan tegas mengakui bahwa
kehormatan, demikian pula martabat, sebagai hak konstitusional dan
oleh karenanya dilindungi oleh konstitusi. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945
berbunyi, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya,
serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
Sementara pada ayat (2)-nya ditegaskan, “Setiap orang berhak untuk
bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat
martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara
lain”;
[3.21] Menimbang, sebagai bukti bahwa ajaran umum dalam hukum
pidana maupun ketentuan konstitusi yang mengatur tentang jaminan
dan perlindungan kehormatan atas diri pribadi merupakan norma hukum
yang berlaku secara universal, telah ternyata dari Pasal 12 Universal
Declaration of Human Rights (UDHR) dan Pasal 17 International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang berbunyi:
Article 12 UDHR
No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy,
family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and
reputation. Everyone has the right to the protection of the law against
such interference or attacks.
Article 17 ICCPR
1. No one shall be subjected to arbitrary or unlawful interference with his
privacy, family, or correspondence, nor to unlawful attacks on his honour
and reputation.
2. Everyone has the right to the protection of the law against such
interference or attacks.
Terjemahan bebasnya:
Pasal 12 UDHR
Tidak seorang pun dapat diganggu dengan sewenang-wenang urusan
pribadinya, keluarganya, rumah-tangganya atau hubungan suratmenyuratnya,
juga tak diperkenankan pelanggaran atas kehormatannya
dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum
terhadap gangguan atau pelanggaran seperti itu.
Pasal 17 ICCPR
1. Tidak ada seorang pun yang boleh dicampuri secara sewenang-wenang
atau secara tidak sah masalah pribadinya, keluarganya, atau hubungan
surat-menyuratnya, demikian pula secara tidak sah diserang kehormatan
atau nama baiknya.
2. Setiap orang berhak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan
atau serangan demikian.
27
[3.22] Menimbang bahwa dengan demikian, baik hukum nasional
maupun hukum internasional, menjamin hak setiap orang atas
kehormatan atau nama baik. Oleh karena itu, penggunaan kebebasan
atau hak setiap orang tidaklah dapat digunakan sedemikian rupa tanpa
batas sehingga menyerang kehormatan atau nama baik seseorang.
Sebab hal demikian bukan hanya bertentangan dengan UUD 1945 tetapi
juga bertentangan dengan hukum internasional;
[3.23] Menimbang, setelah mempertimbangkan hal-hal yang berkenaan
dengan kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana dan hak
atas kehormatan dan martabat sebagai hak konstitusional, selanjutnya
Mahkamah juga memandang perlu untuk mengingatkan hal-hal penting
berikut:
[3.23.1] Bahwa harus dibedakan antara pengujian konstitusionalitas
norma undang-undang (constitutional review) dan persoalan yang timbul
sebagai akibat dari penerapan suatu norma undang-undang yang di
sejumlah negara (misalnya Jerman atau Korea Selatan) dimasukkan ke
dalam ruang lingkup persoalan gugatan atau pengaduan konstitusional
(constitutional complaint) yang kewenangan mengadilinya juga diberikan
kepada mahkamah konstitusi. Dalam hal yang pertama (constitutional
review), yang dipersoalkan adalah apakah suatu norma undang-undang
bertentangan atau tidak dengan konstitusi, sedangkan dalam hal yang
kedua (constitutional complaint) yang dipersoalkan apakah suatu
perbuatan pejabat publik (atau tidak berbuat sesuatunya pejabat publik)
telah melanggar suatu hak dasar (basic rights) seseorang, yang antara
lain dapat terjadi karena pejabat publik yang bersangkutan keliru dalam
menafsirkan norma undang-undang dalam penerapannya. Namun,
berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah secara tegas
hanya dinyatakan mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus terhadap permasalahan yang disebutkan terdahulu
(constitutional review), sementara terhadap permasalahan yang
disebutkan belakangan (constitutional complaint), hingga saat ini, UUD
1945 tidak mengaturnya;
[3.23.2] Bahwa, setelah membaca dengan cermat permohonan para
Pemohon maupun keterangan para Pemohon dalam persidangan,
sesungguhnya yang dipermasalahkan para Pemohon lebih merupakan
constitutional complaint daripada judicial review atau constitutional
review. Namun, oleh karena permasalahan tersebut diajukan sebagai
permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dengan dalil
bahwa ketentuan-ketentuan dalam KUHP yang dimohonkan pengujian itu
bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945, maka Mahkamah harus
memeriksa, mengadili, dan memutusnya;
[3.24] Menimbang bahwa Pemohon I mendalilkan Pasal 310 ayat (1) dan
ayat (2), dan Pasal 311 ayat (1) KUHP bertentangan dengan Pasal 28E
ayat (2), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28F UUD 1945. Sebab, menurut
para Pemohon, ketentuan sanksi pidana penjara terhadap tindak pidana
28
pencemaran, pencemaran tertulis, dan fitnah bertentangan dengan UUD
1945, yaitu:
a. perbuatan pencemaran, yaitu perbuatan yang sengaja menyerang
kehormatan atau nama baik seseorang, dengan menuduh suatu hal,
yang maksudnya adalah supaya hal itu diketahui oleh umum [Pasal 310
ayat (1) KUHP];
b. perbuatan pencemaran tertulis, yaitu pencemaran yang dilakukan
dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, yang dipertunjukkan atau
ditempelkan di muka umum [Pasal 310 ayat (2) KUHP];
c. perbuatan fitnah, yaitu perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 310
ayat (1) dan ayat (2) KUHP tersebut di atas tidak dapat dibuktikan
kebenarannya oleh si pelaku [Pasal 311 ayat (1) KUHP].
Sanksi pidana penjara terhadap ketiga ketentuan tindak pidana tersebut,
menurut Pemohon I, bertentangan dengan kebebasan menyatakan
pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani [Pasal 28E ayat (2) UUD
1945]; kebebasan mengeluarkan pendapat [Pasal 28E ayat (3) UUD
1945; dan kebebasan berkomunikasi [Pasal 28F UUD 1945]. Pokokpokok
argumentasi yang diajukan Pemohon I adalah:
- Bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat, kebebasan
berekspresi, dan kemerdekaan pers dijamin melalui Pasal 28E ayat (2)
dan ayat (3) serta Pasal 28F UUD 1945; oleh Pasal 14, Pasal 19, Pasal
20, dan Pasal 21 Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998; oleh Pasal 14,
Pasal 23 ayat (2), dan Pasal 25 Undang-Undang Hak Asasi Manusia; oleh
Pasal 19 ayat (1) dan (2) ICCPR;
- Bahwa delik penghinaan seringkali dijatuhkan kepada warga negara
Indonesia yang menggunakan hak konstitusionalnya untuk menyatakan
pikiran dan pendapatnya secara lisan dan tertulis serta melakukan
aktivitas penyebarluasan informasi;
- Bahwa dengan perumusan delik sebagaimana diatur dalam Pasal 310
ayat (1) KUHP dengan mudah digunakan pihak-pihak yang tidak
menyenangi kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat, kebebasan
berekspresi dan kebebasan pers;
- Bahwa rumusan delik dalam Pasal 311 ayat (1) dan Pasal 310 KUHP
bukanlah rumusan yang secara tegas menganut asas lex certa sehingga
dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan rentan terhadap tafsir
sepihak apakah suatu pernyataan pendapat atau pikiran merupakan
kritik atau pencemaran dan/atau fitnah, karena itu hukuman berupa
pidana penjara sangat berlebihan dan dapat mengganggu hak
konstitusional sebagaimana dijamin oleh Pasal 28E ayat (2) dan (3) UUD
1945;
- Bahwa penggunaan kalimat atau kata dalam menyatakan pikiran
dan/atau pendapat secara lisan dan tulisan akan selalu berkembang.
Oleh karena itu, kalimat atau kata yang dianggap menghina pada masa
lalu sangat mungkin tidak lagi menghina pada masa sekarang, demikian
pula kalimat yang dianggap menghina pada masa sekarang sangat
mungkin tidak lagi dianggap menghina di masa depan;
29
- Bahwa pemberlakuan pidana penjara sebagaimana dimaksud Pasal 310
ayat (1), Pasal 310 ayat (2), dan Pasal 311 ayat (1) KUHP sudah
kehilangan relevansi dan raison d’etre-nya dalam sebuah negara
demokratis yang berdasarkan hukum jika dihadapkan pada Pasal V
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
tersebut;
- Bahwa tidak seorang pun atau golongan apa pun, termasuk Pemerintah
yang sedang berkuasa, boleh menafsirkan tentang hak asasi manusia
yang dijamin melalui UUD 1945 sedemikian rupa dalam bentuk usaha
atau perbuatan apa pun yang bermaksud menghapuskan hak atau
kebebasan yang telah dijamin dalam UUD 1945. Oleh sebab itu, pidana
penjara sebagaimana dimaksud Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2),
dan Pasal 311 ayat (1) telah menjadi sumber yang mampu membatasi
hak dan/atau kewenangan konstitusional dan bertentangan dengan
konstitusi sehingga harus dihapuskan.
Terhadap dalil Pemohon I tersebut, Mahkamah berpendapat, jika yang
dimaksud oleh Pemohon I dengan dalil-dalilnya adalah adanya anggapan
Pemohon I bahwa pasal-pasal dalam KUHP yang dimohonkan pengujian
itu meniadakan atau menghilangkan hak atas kebebasan menyatakan
pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani, hak untuk mengeluarkan
pendapat, dan hak untuk bebas berkomunikasi, maka menurut
Mahkamah, anggapan demikian tidaklah benar. Konstitusi menjamin hakhak
tersebut dan karena itu negara wajib melindunginya. Namun, pada
saat yang sama negara pun wajib melindungi hak konstitusional lainnya
yang sama derajatnya dengan hak-hak tadi, yaitu hak setiap orang atas
kehormatan dan martabat, sebagaimana diatur dalam Pasal 28G UUD
1945 yang berbunyi,
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak
atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi;
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka
politik dari negara lain.
Karena adanya kewajiban untuk melindungi hak konstitusional lain itulah,
in casu hak atas kehormatan dan martabat, maka negara dibenarkan
melakukan pembatasan terhadap hak atas kebebasan menyatakan
pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani, hak untuk mengeluarkan
pendapat dan bebas berkomunikasi tersebut, sebagaimana secara tegas
dinyatakan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Bahkan, tanpa
30
ada ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 itu pun sesungguhnya pada
diri setiap pemilik hak atas kebebasan itu seharusnya telah ada
kesadaran bahwa dalam setiap hak akan selalu melekat kewajiban,
setidak-tidaknya kewajiban untuk tidak menyalahgunakan hak itu. Oleh
sebab itulah, Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 menegaskan, “Setiap orang
wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Lebih-lebih untuk hak-hak
yang bersubstansikan kebebasan, kesadaran akan adanya pembatasan
yang melekat dalam hak itu merupakan suatu keharusan.
Sungguh tidak terbayangkan akan ada ketertiban dalam kehidupan
bermasyarakat, atau bahkan akan ada kehidupan bersama yang
dinamakan masyarakat, jika masing-masing orang menggunakan
kebebasan dengan sesuka hatinya. Dalam konteks itulah pembatasan
kebebasan oleh hukum menjadi keniscayaan. Hal itu pun dibenarkan
oleh ahli yang diajukan Pemohon sendiri, yaitu Toby Mendel dan Ifdhal
Kasim. Menurut ahli Toby Mendel, kebebasan berpendapat tidaklah
mutlak melainkan dapat dibatasi dengan alasan untuk menjamin hak
orang lain, untuk menjamin keamanan nasional, dan untuk menjamin
ketertiban umum. Sementara itu, Ahli Ifdhal Kasim dalam keterangan
tertulisnya mengemukakan adanya delapan landasan yang dapat
dibenarkan untuk melakukan pembatasan, yaitu (i) precribed by law; (ii)
public order; (iii) moral and public health; (iv) national security; (v)
public safety; (vi) rights and feedoms of others; (vii) rights and
reputation of others; dan (viii) necessary in a democratic society.
Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 311 ayat (1) KUHP adalah
pengejawantahan dari pembatasan itu, sekaligus pengejawantahan dari
kewajiban negara untuk melindungi dan menjamin penghormatan
terhadap setiap hak konstitusional yang ditegaskan dalam UUD 1945.
Oleh karena itu, pasal-pasal KUHP dimaksud tidaklah bertentangan
dengan UUD 1945.
22. HAKIM KONSTITUSI : Prof. H.A.S NATABAYA, S.H.., LL.M
Tentang argumentasi Pemohon I bahwa delik penghinaan seringkali
dijatuhkan kepada warga negara Indonesia yang menggunakan hak
konstitusionalnya untuk menyatakan pikiran dan pendapat, serta mereka
yang melakukan aktivitas penyebarluasan informasi. Di samping itu juga,
ketentuan tersebut mudah disalahgunakan oleh mereka yang tidak
menyukai kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat, kebebasan
berekspresi, dan kebebasan pers. Hal demikian merupakan argumentasi
yang mempersoalkan penerapan norma, bukan mempersoalkan
konstitusionalitas norma. Kelemahan atau kekurangan yang terjadi dalam
proses penerapan norma tidaklah benar jika diatasi dengan jalan
mencabut norma itu. Sebab, jika itu dilakukan maka setiap kali kita
dikecewakan oleh praktik penerapan suatu norma undang-undang, in
casu norma undang-undang hukum pidana, dan hal itu diatasi dengan
31
cara mencabut norma undang-undang hukum pidana tersebut, maka
hukum pidana kiranya tidak akan pernah mempunyai alasan dan tempat
untuk hidup dalam masyarakat. Lagipula, bagian terbesar dari kasuskasus
yang dikemukakan sebagai contoh oleh Pemohon dan pihak-pihak
dalam persidangan berkaitan dengan persoalan penyimpanganpenyimpangan
dalam praktik penegakan hukum. Penegakan hukum yang
semestinya belum membudaya sesuai dengan tuntutan cita negara
hukum yang demokratis.
Selanjutnya, jika yang menjadi persoalan bagi Pemohon I adalah
kenyataan bahwa sanksi atas pelanggaran terhadap pembatasan itu di
beberapa negara tidak lagi berupa pidana penjara, hal demikian tidaklah
serta-merta menjadikan sanksi pidana penjara dalam Pasal 310 ayat (1)
dan ayat (2), serta Pasal 311 ayat (1) KUHP tersebut inkonstitusional
atau bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, hal tersebut sudah berada
di wilayah budaya yang berkait dengan persoalan nilai-nilai yang dianut
oleh suatu masyarakat tentang sesuatu yang dianggap baik, patut, adil,
benar, dan sebagainya yang acapkali berbeda-beda antara negara yang
satu dan negara yang lain. Meskipun karena kemajuan teknologi dan
komunikasi di era global dewasa ini tidak terhindarkan terjadinya
hubungan saling mempengaruhi antara satu negara dan negara lain
mengenai gagasan, prinsip, dan tradisi, namun hubungan saling
mempengaruhi tersebut tidak akan menghilangkan perbedaan konteks
karena faktor situasi dan kondisi setempat (situationgebundenheit).
Demikian pula halnya dengan masalah proporsional-tidaknya suatu
sanksi pidana yang diancamkan terhadap suatu perbuatan, hal itu pun
bergantung pada nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat. Nilai-nilai
itu akan selalu berubah dan berkembang dan bergantung pada acuan
yang digunakan oleh suatu masyarakat tentang sesuatu yang dianggap
ideal. Sesuatu yang dianggap ideal itu akan tercermin dalam politik
hukum yang kemudian diejawantahkan dalam wujud peraturan
perundang-undangan. Mahkamah tidak mungkin menilai dan menguji
konstitusionalitas gagasan politik yang belum menjadi produk hukum dan
kemudian menyatakannya bertentangan dengan konstitusi. Mahkamah
hanya berwenang menguji norma hukum sebagai perwujudan gagasan
politik tersebut, yakni dalam bentuk undang-undang. Namun dalam
menguji konstitusionalitas suatu norma hukum, Mahkamah tidak sematamata
mendasarkan diri pada perkembangan atau kecenderungan yang
terjadi di negara-negara lain, meskipun tidak berarti menutup mata
terhadap dinamika perkembangan atau kecenderungan demikian.
Lagi pula, ketentuan tentang tindak pidana peghinaan atau pencemaran
nama baik dalam KUHP yang dimohonkan pengujian tersebut telah
cukup proporsional karena dirumuskan sebagai delik aduan (klacht
delict). Dengan mengikuti jalan pikiran Pemohon I sendiri, yaitu bahwa
kata-kata yang digunakan dalam menyatakan pikiran atau pendapat
selalu berkembang, maka kebenaran argumentasi ini justru akan diuji
oleh dua hal. Pertama, apakah pada suatu tahap perkembangan tertentu
32
suatu kata-kata atau kalimat – baik yang diucapkan secara lisan maupun
dinyatakan dalam tulisan – masih dianggap menghina atau tidak, yaitu
apakah hal itu masih diadukan (klacht) oleh seseorang yang
menganggap dirinya sebagai korban karena merasa terhina atau
tercemar nama baiknya oleh kata-kata atau kalimat itu. Kedua, apakah
hakim – setelah melalui proses pembuktian di pengadilan – sepakat
dengan pengadu (aanklager) bahwa kata-kata atau kalimat itu memang
menghina atau mencemarkan nama baik.
Selain itu, sanksi pidana yang diancamkan dalam pasal tentang
penghinaan atau pencemaran nama baik dalam KUHP di atas adalah
bersifat alternatif, bukan kumulatif, sehingga apabila dalam persidangan
ternyata bahwa orang yang didakwa sebagai pelaku penghinaan atau
pencemaran nama baik itu tujuannya adalah dalam rangka membela
kepentingan umum atau kepentingan membela diri, misalnya sebagai
wartawan membeberkan perilaku seorang koruptor, maka hal itu juga
tergantung pada penilaian hakim yang mengadili perkara itu, apakah –
jika terbukti bersalah – akan dijatuhkan pidana perampasan
kemerdekaan (penjara) atau pidana denda. Hal itu telah ditegaskan
dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP. Kenyataan sehari-hari saat ini
menunjukkan bahwa begitu gencarnya pemberitaan media cetak
maupun elektronik tentang orang-orang yang bahkan baru diduga
melakukan tindak pidana korupsi, namun jumlah mereka yang
mengajukan pengaduan karena nama baik atau kehormatannya merasa
dicemarkan oleh pemberitaan itu tidaklah signifikan dibandingkan
dengan gencarnya pemberitaan tentang para tersangka koruptor itu. Hal
itu sekaligus menunjukkan telah terjadi perubahan budaya hukum yang
positif dalam masyarakat, bukan hanya dari perspektif pegiat media,
tetapi juga dari perspektif mereka yang diberitakan media.
Selanjutnya, Mahkamah berpendapat pula bahwa rumusan suatu norma
undang-undang tidak serta-merta kehilangan raison d’etre-nya hanya
karena ia merupakan warisan pemerintahan penjajah, kecuali jika norma
tersebut nyata-nyata dibuat semata-mata demi kepentingan penjajah
sehingga bertentangan dengan hakikat Indonesia sebagai negara
merdeka yang dengan demikian bertentangan dengan UUD 1945.
Misalnya putusan Mahkamah terdahulu yang telah menyatakan beberapa
pasal KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak lagi mempunyai
kekuatan hukum mengikat, antara lain, yaitu Pasal 134, Pasal 136 bis,
dan Pasal 137 KUHP (vide Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tanggal
6 Desember 2006).
Mahkamah juga tidak berwenang mengubah jenis pidana yang terdapat
dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 311 ayat (1) KUHP,
sebagaimana dimohon oleh Pemohon dalam petitum-nya. Hal itu adalah
kewenangan pembentuk undang-undang melalui legislative review.
Permohonan a quo sangat berbeda dengan perkara pengujian Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran di mana
Mahkamah menyatakan sanksi pidana penjara dalam Pasal 75 ayat (1)
33
dan Pasal 76 sepanjang mengenai kata-kata “penjara paling lama 3
(tiga) tahun atau” dan Pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata
“kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau” serta Pasal 79 huruf c
sepanjang mengenai kata-kata “atau huruf e” dalam Undang-Undang
tentang Praktik Kedokteran bertentangan dengan UUD 1945. Putusan
Mahkamah tersebut pada pokoknya didasarkan pada alasan bahwa
pelanggaran yang diancam dengan pidana penjara dalam undangundang
tersebut adalah pelanggaran administratif sehingga sanksi bagi
pelanggaran itu dapat dijatuhi dengan pidana denda, tidak perlu dengan
pidana penjara karena hal itu tidak proporsional (vide putusan
Mahkamah Nomor 4/PUU-V/2007 tanggal 19 Juni 2007). Lagi pula,
dalam kasus tersebut di atas, undang-undang yang dimohonkan
pengujian adalah undang-undang yang ruang lingkupnya hanya
mengatur tentang praktik kedokteran. Jadi, bukan undang-undang yang
bersifat umum seperti KUHP yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon.
[3.25] Menimbang bahwa Pemohon II mendalilkan Pasal 207 dan Pasal
316 KUHP bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28E ayat (2),
Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28F UUD 1945. Sebab, menurut Pemohon
II, ketentuan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945,
yaitu:
a. perbuatan menghina suatu penguasa atau badan umum yang dilakukan
secara sengaja di muka umum, dengan lisan maupun tulisan [Pasal 207
KUHP];
b. perbuatan menghina pejabat yang sedang menjalankan jabatannya atau
karena menjalankan jabatannya [Pasal 316 KUHP].
Menurut Pemohon II, kedua pasal tersebut bertentangan dengan:
1. hak atas persamaan kedudukan di hadapan hukum [Pasal 27 ayat (1)
UUD 1945];
2. hak atas kebebasan meyakini kepercayaan, kebebasan menyatakan
pikiran dan sikap [Pasal 28E ayat (2) UUD 1945]; dan
3. hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat
[Pasa 28E ayat (3) UUD 1945].
Pokok-pokok argumentasi yang diajukan Pemohon II untuk mendukung
dalil-dalilnya adalah:
- Bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat, kebebasan
berekspresi, dan kemerdekaan pers dijamin melalui Pasal 28E ayat (2)
dan ayat (3), serta Pasal 28F UUD 1945; oleh Pasal 14, Pasal 19, Pasal
20, dan Pasal 21 Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998; oleh Pasal 14,
Pasal 23 ayat (2), dan Pasal 25 Undang-Undang HAM; oleh Pasal 19 ayat
(1) dan (2) ICCPR;
- Bahwa terhadap penggunaan Pasal 207 KUHP, Mahkamah Konstitusi
telah menyatakan pendapatnya dalam Putusan Nomor 013-022/PUUIV/
2006, “Penuntutan terhadap pelaku pelanggaran atas Pasal 207 KUH
Pidana oleh aparat penyelenggara negara memerlukan penyesuaian di
masa depan sejalan dengan pertimbangan Mahkamah mengenai Pasal
134, Pasal 136 bis, Pasal 137 KUH Pidana tersebut di atas”;
34
- Bahwa Pasal 207 dan Pasal 316 KUHP nyata-nyata memberikan
perlindungan dan perlakuan istimewa terhadap pejabat negara, serta
aparat penyelenggara negara dan telah menyingkirkan prinsip
persamaan di muka hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1)
UUD 1945;
- Bahwa pemberlakuan Pasal 207 dan Pasal 316 KUHP telah secara serius
mengancam kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat, kebebasan
berekspresi, dan kemerdekaan pers, serta kepastian hukum;
- Bahwa Pasal 207 dan Pasal 316 KUHP sudah kehilangan relevansi dan
raison d’etre-nya dalam sebuah negara demokratis yang berdasarkan
hukum jika dihadapkan pada Pasal V Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana;
- Bahwa rumusan delik dalam Pasal 310 ayat (1), Pasal 316, Pasal 207
KUHP bukanlah rumusan yang secara tegas menganut asas lex certa
sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan rentan terhadap
tafsir sepihak apakah suatu pernyataan pendapat atau pikiran
merupakan kritik atau pencemaran dan/atau fitnah, karena itu hukuman
berupa pidana penjara sangat berlebihan dan dapat mengganggu hak
konstitusional sebagaimana dijamin oleh Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3)
UUD 1945;
- Bahwa penggunaan Pasal 207, Pasal 310 ayat (1), dan Pasal 316 KUHP
juga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan rentan terhadap
tafsir sepihak apakah suatu penyampaian informasi merupakan kritik
atau pencemaran dan/atau fitnah sehingga dapat menghambat
kemerdekaan pers sebagaimana dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945;
- Bahwa kehormatan dan nama baik seseorang memang tetap patut dijaga
dan dihormati, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (3) ICCPR (UU
Nomor 12 Tahun 2005), namun penggunaan perlindungan melalui Pasal
207 dan Pasal 316 KUHP terhadap pejabat negara atau aparat
penyelenggara negara adalah berlebihan dan sewenang-wenang;
- Bahwa perkembangan kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat,
kemerdekaan berekspresi dan kemerdekaan pers, terutama di negaranegara
demokrasi, sudah sedemikian jauh sehingga kini dipandang tidak
lagi wajar, bahkan tidak patut, untuk menjatuhkan sanksi hukum pidana
penjara bagi para pencipta karya-karya pemikiran kreatif seperti karya
jurnalistik, pendapat, atau ekspresi;
- Bahwa pandangan yang menganggap penyampaian pendapat,
penyampaian ekspresi dan karya jurnalistik sebagai kejahatan yang patut
dipidana penjara kini semakin tidak populer sehingga tidak selayaknya
dipertahankan, sebab dipandang tidak sesuai dengan standar
internasional tentang kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat,
kebebasan berekspresi, dan kemerdekaan pers;
- Bahwa apabila pidana denda yang terdapat dalam KUHP dianggap tidak
cukup, aturan tentang penghinaan dan pencemaran nama baik juga
diatur dalam Pasal 1372 sampai dengan Pasal 1379 KUHPerdata,
35
sehingga penuntutan terhadap penghinaan dan pencemaran nama baik
dapat dilakukan dalam mekanisme yang disediakan dalam KUHPerdata.
23. HAKIM KONSTITUSI : MARUARAR SIAHAAN, S.H.
Terhadap dalil Pemohon II tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa
sepanjang dalil-dalil yang diajukan Pemohon II sama dengan Pemohon I,
sebagaimana diuraikan dalam paragraf [3.24] di atas, maka
pertimbangan Mahkamah terhadap dalil Pemohon I tersebut mutatis
mutandis berlaku terhadap dalil Pemohon II. Selanjutnya, terhadap dalil
Pemohon II yang merujuk pada Putusan Nomor 013-022/PUUIV/
2006, agar tidak timbul salah pengertian, Mahkamah perlu merujuk
pertimbangan hukum putusan dimaksud menyangkut Pasal 207 KUHP
sebagai berikut:
• Bahwa oleh karena itu delik penghinaan terhadap Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut hukum seharusnya diberlakukan Pasal 310 -
Pasal 321 KUHPidana manakala penghinaan (beleediging) ditujukan
dalam kualitas pribadinya, dan Pasal 207 KUHPidana dalam hal
penghinaan ditujukan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden selaku
pejabat (als ambtsdrager);
• Bahwa dalam kaitan pemberlakuan Pasal 207 KUHPidana bagi delik
penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana
halnya dengan penghinaan terhadap penguasa atau badan publik
(gestelde macht of openbaar lichaam) lainnya, memang seharusnya
penuntutan terhadapnya dilakukan atas dasar pengaduan (bij klacht). Di
beberapa negara antara lain Jepang, penghinaan terhadap Kaisar, Ratu,
Nenek Suri, Ibu Suri, atau ahli waris kekaisaran hanya dapat dituntut
atas dasar pengaduan. Article 232 (2) The Penal Code of Japan
menentukan bahwa Perdana Menteri akan membuatkan pengaduan atas
nama Kaisar, Ratu, Nenek Suri, Ibu Suri guna pengajuan penuntutan,
dan apabila penghinaan dimaksud dilakukan terhadap seorang raja atau
presiden suatu negeri asing, maka wakil negeri yang berkepentingan itu
yang akan membuat pengaduan atas namanya. Penuntutan terhadap
pelaku pelanggaran atas Pasal 207 KUHPidana oleh aparat
penyelenggara negara memerlukan penyesuaian di masa depan sejalan
dengan pertimbangan Mahkamah mengenai Pasal 134, Pasal 136 bis,
dan Pasal 137 KUHPidana tersebut di atas;
Dengan demikian, telah jelas pendapat Mahkamah bahwa Pasal 207
KUHP adalah konstitusional. Adapun yang dimaksud dengan frasa
“aparat penyelenggara negara perlu menyesuaikan di masa depan
sejalan dengan pertimbangan mengenai Pasal 134, Pasal 136 bis, dan
Pasal 137 KUHP” adalah penyesuaian melalui kebijakan legislasi, bukan
melalui pengujian konstitusional sebagaimana dipahami oleh Pemohon.
Terhadap dalil Pemohon bahwa Pasal 207 dan Pasal 316 KUHP
memberikan perlindungan dan perlakuan istimewa terhadap pejabat
negara dan menyingkirkan prinsip persamaan di muka hukum, sepanjang
36
mengenai Pasal 207 KUHP, pertimbangan Mahkamah di atas mutatis
mutandis berlaku. Adapun terhadap Pasal 316 KUHP, jika perbedaan
perlakuan hukum yang dimaksud oleh Pemohon adalah adanya
pemberatan pidana (strafverhoging), maka pemberatan pidana tersebut
bukanlah pembedaan perlakuan melainkan konsekuensi logis
konstitusionalnya Pasal 207 KUHP yang memberikan perlindungan
tersendiri kepada pejabat-pejabat negara yang sedang menjalankan
tugas berdasarkan hukum. Perlunya perlindungan tersendiri terhadap
pejabat publik yang sedang menjalankan tugas karena di dalam jabatan
dimaksud terkandung di samping unsur subjektif pribadi pejabatnya,
juga melekat unsur objektif institusinya yang membutuhkan kredibilitas,
kewibawaan, dan kapabilitas agar efektif dalam menjalankan tugas
publiknya.
[3.26] Menimbang, khusus terhadap dalil-dalil para Pemohon yang
berkait dengan kebebasan pers, serta memperhatikan fakta yang
berkembang dalam persidangan, yaitu seolah-olah pasal-pasal KUHP
yang dimohonkan pengujian akan memasung kebebasan pers, penting
bagi Mahkamah untuk mengingatkan bahwa ketentuan yang dimohonkan
pengujian dalam permohonan a quo adalah ketentuan hukum pidana
yang bersifat umum, bukan hanya berlaku terhadap pers. Sehingga,
apabila dikehendaki adanya ketentuan pidana yang berlaku khusus
terhadap pers atau media massa pada umumnya, maka hal itu haruslah
dirumuskan secara khusus atau tersendiri dalam Undang-Undang Pers
sebagai lex specialis. Selama undang-undang yang mengatur tentang
pers atau media massa pada umumnya tetap merujuk pada KUHP untuk
tindak pidana yang diduga dilakukan oleh pers atau media massa pada
umumnya, maka tidaklah dapat dikatakan ada kesalahan penerapan
hukum apabila penuntut umum menjadikan KUHP sebagai dasar
tuntutannya atau hakim menggunakan KUHP sebagai dasar penjatuhan
putusannya. Dengan kata lain, jika memang dikehendaki adanya
kekhususan pengaturan terhadap tindak pidana yang diduga dilakukan
oleh pers atau media massa pada umumnya, hal itu haruslah dijadikan
bagian dari agenda pembaruan hukum pidana untuk kemudian
diwujudkan melalui legislative review. Demikian pula jika dipandang tidak
pantas lagi untuk menggunakan hukum pidana dalam hubungannya
dengan kerugian yang timbul sebagai akibat pemberitaan pers atau
media massa pada umumnya, melainkan – misalnya – cukup dengan
menggunakan gugatan secara perdata dengan prinsip tanggung jawab
atas dasar kesalahan (liability based on fault), hal itu pun dapat
dilakukan melalui legislative review sesuai dengan arah politik hukum
pidana yang hendak dibangun.
24. KETUA : Dr. HARJONO, S.H., M.CL
Sebelum saya lanjutkan ada ralat, ada beberap yang disampaikan
secara langsung tapi ada beberapa yang belum.
37
Koreksi pertama halaman 252, angka 3.8.2 di dalam kalimat
“tulisan opini Pemohon I,” seharusnya tulisan opini Pemohon II.
Berikutnya halaman 256, di dalam angka 3.11.3 di situ tertulis “datang
pasal-pasal,” seharusnya datang dari pasal-pasal. Pada halaman 258
butir 3 di situkan tertuliskan perbuatan pidana dalam pasal-pasal dalam
KUHP, seharusnya perbuatan pidana dalam pasal-pasal. Kata tentang
dalam dihilangkan.
Kemudian pada 264 tadi sudah diperbaiki meratifikasi untuk jadi
merevisi. Lalu pada halaman 265 tiga baris dari atas di situkan
tertuliskan “bukan jalan sendiri-sendiri seolah-olah menjadi pahlawan
untuk memperjuangkan hal.” Yang benar adalah mau menjadi pahlawan
untuk memperjuabgkan haknya. Kemudian ada kekurangan membaca
harus dianggap ada pada putusan hal 272, bagian bulatan yang saya
bacakan “di bagian akhir keterangannya ahli jga mengutip .P. Manual for
Libel di Amerika yang menyatakan, “the publication of libel may result in
what is considered a breach of peace. For that reason, it may constitute
a criminal offences”. Bagian yang tertulis dalam putusan.
Itu ralat yang saya sampaikan, kemudian saya lanjutkan
pembacaan putusan.
4. KONKLUSI
Berdasarkan seluruh pertimbangan terhadap fakta dan hukum
sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Bahwa nama baik, martabat, atau kehormatan seseorang adalah
salah satu kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana
karena merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara yang
dijamin oleh UUD 1945 maupun hukum internasional, dan karenanya
apabila hukum pidana memberikan ancaman sanksi pidana tertentu
terhadap perbuatan yang menyerang nama baik, martabat, atau
kehormatan seseorang, hal itu tidaklah bertentangan dengan UUD 1945;
[4.2] Bahwa permohonan para Pemohon sesungguhnya lebih
merupakan permasalahan penerapan norma undang-undang, bukan
konstitusionalitas norma undang-undang;
[4.3] Bahwa oleh karena itu, dalil para Pemohon tidak beralasan,
sehingga permohonan harus ditolak.
5. AMAR PUTUSAN
Dengan mengingat Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 98,Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4316), maka berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Mengadili,
Menyatakan permohonan para Pemohon ditolak;
38
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim
yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi pada hari Rabu, tanggal
tiga belas bulan Agustus tahun dua ribu delapan, yang diucapkan
dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada
hari ini Jumat, tanggal lima belas bulan Agustus tahun dua ribu
delapan, oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu H. Harjono, sebagai
Ketua Sidang, H.A.S. Natabaya, Maruarar Siahaan, I Dewa Gede
Palguna, H. Abdul Mukthie Fadjar, Moh. Mahfud MD, H.M. Arsyad
Sanusi, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota,
didampingi oleh Sunardi sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri
oleh para Pemohon/Kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang
mewakili, Pemerintah atau yang mewakili, Pihak Terkait Aliansi
Jurnalis Independen, Pihak Terkait Dewan Pers, Pihak Terkait
Persatuan Wartawan Indonesia, dan Pihak Terkait Ikatan Jurnalis
Televisi Indonesia.
Ditandatangani oleh delapan hakim dengan demikian putusan ini
telah dibacakan dengan demikian sidang kami tutup.
SIDANG DITUTUP PUKUL 16.25 WIB
KETUK PALU 3X
KETUK PALU 3X

Tidak ada komentar:

Posting Komentar