Minggu, 31 Mei 2009

Korupsi Merusak Perekonomian Nasional

Bicara korupsi bukanlah hal yang baru di republik ini. Bahkan korupsi telah menjadi budaya. Gembar-gembor pemberantasan korupsi sejak berdirinya KPK belum mampu mengubah republik ini tumbuh menjadi negeri yang bebas dari korupsi.

Bebagai penelitian membuktikan sebenarnya korupsi lahir sebagai akar dari budaya kekerasan dalam bentuk lain. Cerita rakyat Melayu yang terkenalpun mengisahkan hal serupa. Ketika raja hendak datang berkinjung kesatu kampung, raja meminta agar disebelih satu ekor sapi untuk dimakan bersama rakyat yang dikunjungi. Apa kata sang menteri, lalu memerintahkan untuk menyembelih tujuh ekor sapi dengan harapan menteri dapat memperlihatkan kepada raja betapa rakyat sudah makmur dan sang menteripun bekerja baik. Perintah sang menteripun diterjemahkan menjadi memotong empat belas ekor sapi oleh Datuk (penguasa wilayah) seterusnya oleh penghulu diperintahkan memotong empat puluh sembilan ekor sapi?

Siapa yang jadi korban? Rakyat juga. Sekalipun uangnya digunakan dari kas negara tetap yang bayar melalui pajak: rakyat juga. Sial betul jadi rakyat! Benar kemudian konsepsi bahwa kalian semua adalah pemimpin bukan kalian semua adalah rakyat sebab jika kita semua pemimpin maka punya hak yang sama untuk mempertanyakan kualitas kebijakan yang diambil.

Praktik korupsi melahirkan berbagai anak yang bercabang diantaranya: suap, sogok, cri muka kepada atasan, beking-membeking, kolusi, nepotisme dan seterusnya. Lambat laun masalah yang tadinya kecil dan dilakukan tersembunyi kini menyebar ke berbagai lapisan.

Dalam sejarah negara modern di Indonesia, entah kapan dimulai korupsi dan anak-anaknya itu lahir. Pastinya semua orang tahu itu salah. Dan patut di duga dahulu dilakukan oleh orang-orang tertentu dengan sangat rahasia kemudian menyebar karena dengan cara seperti ini dapat mengeruk keuntungan tanpa bersusah payah. Lantas kemudian, setelah puluhan tahun kemudian menyebar menghinggapi hampir seluruh lapisan masyarakat tanpa ampun bak epidemi. Tanpa korupsi, suap, kolusi, nepotisme maka dianggap tidak gaul, tidak up to date dan seterusnya. Akibatnya, rusaklah tatanan yang dibangun pendiri bangsa, kreativitas terbunuh, orang-orang lebih suka cara-cara yang instan untuk menikmati hidup tanpa bersusah-susah.

Dalam dunia peradilan lihatlah, tak perlu pandai menjadi untuk memenangkan perkara cukup dekat dengan pengambil keputusan dan mengerti kapan harus mengucurkan dana maka sesulit apapun kasus bisa dimenangkan. Anak TK juga tahu.

Dalam praktik ekonomi, jelas pula korupsi dan varian-varian turunannya jelas membuat ekonomi tidak menjadi efisien malah menjadi mahal. Setidaknya dapat dirasakan beberapa tahun kebelakang. Mengurus perizinan harus membayar uang-uang siluman dan pelicin dari mulai membayar atasan sampai pelaksana teknis. Dialin pihak keinginan untuk mendapatkan devisa yang besar selalu menjadi gembar-gembor yang dikumandangkan. Manalah mungkin? Dengan biaya mahal seperti itu siapa yang mau berusaha atau menanamkan modal tentu yang memiliki talenta dan modal yang kuat saja yang mau padahal orang-orang bermodal besar selalu berada pada puncak piramida dengan jumlah yang sangat sedikit. Sedang yang mayoritas bermodal menengah kebawah tercekik dengan syarat yang berat yang lahir dari lingkungan korup tadi.

Jika demikian hampir dipastikan sulit untuk bangkit dari krisis bila praktik korupsi dan turunannya masih ada. Sulitnya kemudian ketika praktik korup itu telah bermetamorfosis sekian tahun lamanya adalah bagaimana menghentikannya? Dan cara yang dipilihpun selalu emosional, tangkap, penjarakan, dan seterusnya tanpa membuat jaring-jaring yang membasmi korup itu sampai keakar-akarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar