Minggu, 31 Mei 2009

Sekilas Tentang Kepailitan (2)

Penentu Kepailitan

Dalam kepailitan penentu adanya kondisi suatu person/individu atau badan hukum itu pailit adalah utang. Jadi utang adalah raison d’etre adanya kepailitan atau dengan kata lain esensi dari adanya kepailitan yaitu utang. Persoalannya hutang yang bagaimana? Sederhananya, utang adalah suatu bentuk kewajiban untuk memenuhi prestasi dalam suatu perikatan. Masih bingung? Lebih sederhananya, utang adalah apa saja yang membuat anda harus membayar kepada orang lain, bisa janji, bisa tidak berbuat semisal saya tidak berbuat apa-apa tpi berakibat harus dibayar atau ditebus kepada orang lain.

Sehingga di Amerika Serikat, pengertian utang dalam konteks kepailitan secara lebih luas dikatakan; ”a debt is defined as liability an a claim” sedangkan ”claim is a right to payment”. Sedang menurut, Fred B.G. Tumbuan, mengatakan; dalam hal seseorang karena perbuatannya atau tidak melakukan sesuatu mengakibatkan bahwa ia mempunyai kewajiban membayar ganti rugi, memberikan sesuatu atau tidak memberikan sesuatu, maka pada saat ia mempunyai utang, mempunyai kewajiban melakukan prestasi. Jadi, utang sama dengan prestasi. Fred. BG Tumbuan: Mencermati makna Debitor, Kreditor dan Utang Berkaitan Dengan Kepailitan, hlm.7.

Dalam UU Kepailitan, Pasal 1 Ayat (6), dikatakan:
Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontingen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.


Kapan Dinyatakan Keadaan Pailit

Pailit atau sehari-hari kita dengar, bangkrut, namun karena ini istilah hukum maka kita pakai ’pailit’ aja. Syarat, dinyatakan pailit apabila telah diputuskan (putusan) oleh pengadilan dinyatakan pailit.

Dalam Pasal 2 Ayat (1) UUK, dikatakan:
Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.

Selanjutnya, dalam Pasal 8 Ayat (4) UUK memperkuat agar keadaan pailit diputuskan oleh pengadilan, sebagai berikut bunyinya:
Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) telah terpenuhi.

Dengan melihat ketentuan hukum positif (UUK) di atas, dengan terpenuhinya syarat meteriil, yakni: 1) ada dua atau lebih; 2) satu saja dari utang itu tidak dibayar lunas, 3) telah jatuh waktu (tempo) dan dapat ditagih. Maka permohonan pailit dapat diajukan kepada pengadilan (niaga) yang kemudian dalam putusan harus dikabulkan pengadilan (niaga) dalam penetapan sebagai ’pailit’.


Akibat Keadaan Pailit atau Kepailitan

Konsekuensi dari keadaan pailit atau kepalitan adalah disitanya semua harta kekayaan debitor pailit (si pailit, terpailit=sederhananya) kemudian pengurusan dan pemberesannya diserahkan kepada kurator yang diawasi oleh hakim pengawasan. (Dalam putusan pengadilan tentang kepailitan selalu ditetapkan siapa kurator dan ditunjuk siapa hakim pengawasnya).

Merujuk dari definisi atau ketentuan umum dalam Pasal 1 Ayat (1) UUK, dimana Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit, maka orang (orang perseorang) atau korporasi termasuk korporasi yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum yang mempunyai utang semua kekayaannya disita.

Melihat dengan seksama dari UUK maka sesungguhnya ada 4 (empat) pihak yang menanggung akibat dari kepailitan;
1. debitor pailit dalam hal ini orang per seorang (person);
2. perseroan yang dinyatakan pailit;
3. pihak ketiga yang memiliki hubungan dengan debitor pailit (buruh); dan
4. kreditor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar