Minggu, 31 Mei 2009

Sekilas Tentang Kepailitan (3)

1. Debitor Pailit Orang Per Seorang (natuurlijk persoon)

UUK secara umum tidak membedakan kepailitan orang per orang atau person (natuurlijk persoon) dengan kepalitan yang menimpa badan hukum khususnya perseroan terbatas yang nota bene mempunyai implikasi berbeda. Padahal bila dirunut akibat-akibat yang timbul jauh berbeda. Namun, berkaitan dengan pailit atas perseorangan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 UUK:
Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.

Kemudian diperkuat dalam Pasal 23, yang berbunyi:
Debitor pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22 meliputi istri dan suami dari debitor yang menikah dalam persatuan harta.

Maksudnya: sita umum atas kekayaan juga berlaku atas atau meliputi harta kekayaan istri dan suami yang menikah kemudian terjadi persatuan atau percampuran harta dalam UU Perkawinan, sering disebut harta bersama juga dikenakan sita atau pailit.

Selanjutnya, dalam Pasal 24 Ayat (1) dikatakan:
Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.

Jadi debitor pailit tidak dapat lagi atau tidak bisa lagi mengakses hartanya itu untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya melainkan diurus oleh kurator dengan batasan tentu harta yang dinyatakan pailit (disita umum) oleh pengadilan.

Namun, UUK memberikan batasan atas pailit dimana tidak semua harta kekayaan dapat disita. Dalam konteks demikian, maka sesungguhnya, Debitor pailit demi hukum kehilangan haknya untuk mengurus (daden van behooren) dan melakukan perbuatan kepemilikan (daden van beschikking) terhadap harta kekayaannya yang termasuk dalam kepailitan. Tegasanya, kehilangan hak bebasnya atau kebebasannya terbatas pada harta kekayaannya dan tidak terhadap status pribadinya. Demikian pula dalam hal keperdataan lainnya, semisal: kecakapan (bekwaam: bukan kecakepan, red..) untuk melangsungkan perkawinan dan seterusnya. Maksudnya adalah kepailitan bukanlah suatu vonis kriminal atau pidana yang kemudaian dapat membatasi hak-hak warga negara.

Oleh sebab itu, dalam Pasal 22 UUK, dikatakan:
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 tidak berlaku terhadap:
a. benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh Debitor sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yagn digunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang digunakan oleh Debitor dan keluarganya, dan bahan makanan 30 (tiga puluh) hari bagi Debitor dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu;
b. segala sesuatu yagn diperoleh debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas; atau
c. uang yang diberikan kepada debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang.

Dalam Udang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas atau UU PT dalam Pasal 93 Ayat (1): a dan b, dikatakan:
(1) Yang dapat diangkat menjadi anggota Direksi adalah orang perseorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatannya pernah:
a. dinyatakan pailit;
b. menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit; atau ...

Selanjutnya, dalam UU PT dalam Pasal 110 Ayat (1): a dan b, dikatakan:
(1) Yang dapat diangkat menjadi anggota Dewan Komisaris adalah orang perseorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatannya pernah:
a. dinyatakan pailit;
b. menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit; atau ...

Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentng Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden , dalam Pasal 6, dikatakan bahwa salah satu syarat calon presiden dan Wakil Presiden adalah tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan. Hal yang sama juga dianut oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang juga menentukan bahwa calon Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak sedang dinyatakan dalam keadaan pailit.


2. Perseroan Terbatas Yang Dinyatakan Pailit

Agak rumit membicarakan pailit perseroan terbatas karena ada beberapa istilah yang harus dibedakan terlebih dahulu, yakni; kebangkrutan perseroan terbatas, pembubaran perseroan terbatas dan likuidasai perseroan terbatas.

Secara umum, kebangkrutan perseroan terbatas adalah suatu keadaan di mana perusahaan mengalami deteriorasi adaptsi perusahaan dengan lingkungannya yang sampai membawa rendahnya kinerja untuk jangka waktu tertentu yang berkelanjutan yang pada akhirnya menjadikan perusahaan kehilangn sumber daya dan dana yang dimiliki sebagai akibat dari gagalnya perusahaan melakukan pertukaran yang sehat antara keluaran (output) yang dihasilkan dengan masukan (input) yang harus diperoleh.

Pembubaran perusahaan terbatas (winding up) adalah merupakan langkah hukum yang diambil suatu badan hukum perseroan terbatas ats alasan hukum sebagaimana dalam UU PT Pasal 142 Ayat (1) UU PT. Sedangkan likuidasi perseroan terbatas adalah langkah yang wajib apabila terjadi pembubaran perseroan terjadi, sebagaimana dalam Pasal 142 Ayat (2) UU PT.

Jika ditelusuri maka pailit perseroan terbatas adalah salah satu bentuk pembubaran perseroan terbatas yang disertai atau (wajib) dikuti dengan likuidasi atau dalam likuidasi. Dengan demikian pailit atas perseroan terbatas adalah adalah sarana untuk memperoleh likuidasi secepat mungkin untuk membayar utang kepada kreditor karena likuidasi harus diikuiti dengan pembubaran (winding up) maka pailit perseroan terbatas juga salah satu bentuk pembubaran perseroan. (untuk lebih lanjut akan dibuat tulisan terpisah).


3. Pihak Ketiga Yang Memiliki Hubungan Dengan Debitor Pailit (Buruh)

Salah satu akibat kepailitan yang penting adalah adanya akibat-akibat terhadap pihak ketiga salah satunya adalah buruh. Orang per seorang atau korporasi termasuk korporasi yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum yang pailit terhadapnya ditunjuk kurator yang nanti melaksanakan pengurusan pembayaran utang kepada kreditor. Karenanya, tidak dapat dihindarkan penjualan aset-aset atau harta kekayaan pailit yang digunakan untuk membayar utang. Dalam hal hubungan perburuhan, kurator dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan melakukan pembayaran-pembayaran atas PHK tersebut. Demikian juga, buruh dapat mengajukan PHK dengan alasan perusahaan pailit. Tinggal konsekuensi yang berbeda dari PHK tersebut.


4. Kreditor

Pihak yang paling diuntungkan secara logis adalah Kreditor (orang yang berhak untuk mendapatkan prestasi atau pembayaran). Baik pailit yang dimohonkan oleh debitor atau yang dimohonkan kreditor, tetap saja menguntungkan pihak kreditor yang sesegera mungkin mendapatkan pembayaran.

Persoalannya adalah pada saat debitor memohonkan kepada pengadilan untuk dinyatakan pailit kreditor mestilah waspada jangan-jangan harta kekayaan telah berpindah tangan atau dengan kat lain tidak mencukupi untuk pemabayaran utang. Lain soal bila permohonan pailit dimohonkan oleh kreditor yang dengan logika sederhana berkepentingan untuk mendapatkan pembayaran sesegera mungkin. Jadi kreditor harus pandai dalam mendapatkan informasi sejauhmana aset atau harta kekayaan debitor masih sanggup untuk membayar (meng-cover) utang kepada kreditor jangan tunggu sampai aset ludes.

Namun, tidak semua kreditor dalam posisi yang diuntungkan bila terjadi pailit. Harta kekayaan pailit setelah digunakan untuk membayar jasa kurator, hakim pengawas dan pihak lain untuk keberlangsungan debitor semisal gaji, baru kemudian dibayarakan kepada kreditor. Masalahnya adalah bagaimana bila aset atau harta kekayaan pailit itu tidak mencukupi? Bagaimana pembagiannya.

Kreditor haruslah mendapatkan pembayaran, ini adalah prinsip wajibnya namun apakah kreditor dengan piutang Rp. 1 juta harus dilunaskan sedang ada kreditor dengan piutang Rp. 5 juta tidak dibayar lunas dengan alasan harta kekayaan pailit hanya Rp. 5 juta, sehingga kreditor A, Rp. 1 juta=lunas dan kreditor B, Rp. 4 juta=belum lunas. Tentu dalam tingkat seperti ini pertanyaan filosofis tentang keadilan akan muncul. Oleh karena itu, untuk menegakkan nilai keadilan itu dipakai prinsip Pari Pasu Prorata Parte.

Prinsip Pari Pasu Prorata Parte bermaksud bahwa harta kekayaan pailit merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya dibagikan secara proporsional diantara mereka kecuali menurut undang-undang ditentukan lain. Demikian pula, prinsip ini belum dapat menjawab apakah dengan proposional saja telah memmenuhi rasa keadilan? Maka dalam keterbatasan jaminan harta kekayaan pailit yang diperebutkan oleh kreditor itu dilihat strata atau tingkat kreditor, dalam teorinya: prinsip Pari Pasu Prorata Parte disempurnakan dengan menggunakan prinsip Structured Creditors.

Prinsip Structured Creditors menempatkan kreditor berbeda dengan tingkatannya dan berdamapak pada siapa yang didahulukan untuk dibayarkan. Kreditor dibagi kedalam 3 (tiga) strata, yakni: 1. kreditor sparatis; 2. kreditor preferen; dan 3. kreditor konkuren.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar