Rabu, 07 Januari 2009

Penyelesaian Sengketa Pers (Bagian Pertama)

Kemerdekaan pers yang bisa kita nikmati sekarang bukan datang dengan sendirinya namun buah dari pergulatan panjang. Setiap tahap atau tingkat pergulatan itu dapat kita lihat dari peraturan perundang-undangan yang meregulasi pers. Ibaratnya dari kepompong hingga kupu-kupu yang bisa terbang bebas seperti sekarang.

Namun tafsir atas kebebasan pers sering mengalami distorsi makna dan praktik yang selalu dianggap tidak bertanggung jawab. Pers bebas yang dikehendaki sebagaian besar jurnalis sering mendapat tantangan telebih ketika melihat dari realita. Meningkatnya gugatan terhadap media massa atau pers pun demikian juga para wartawan tak pelak membuat kita bertanya ada apa denganmu?

Prinsip-prinsip jurnalistik, kode etik jurnalis dan UU Pers acap kali tidak implemetatif sehingga kasus-kasus pers bermunculan. Dalam situasi demikian adalah benar kemudian UU Pers menetapkan adanya suatu badan yakni Dewan Pers sebagai institusi penyelesaian sengketa pers.

Gugatan terhadap pers pun wartawan masih dalam ranah yang sama, semisal pencemaran nama (baik) yang lahir dari berbagai sebab berita yang tidak cover both sides (all sides), premature (terlalu dini), penghakiman (trial by the press), dan seterusnya yang selalu dituduhkan kepada pers.

Lebih dalam lagi, sengketa pers yang lahir dari pemberitaan itu tidak dengan tegas dijelasakan serta ditetapkan dalam UU Pers bagaimana penyelesaiannya. Sehingga tafsir yang berkembang adalah mengikuti kehendak korban. Hal ini bukanlah suatu kesalahan apabila korban mengacu pada Pasal 19, Ketentuan Peralihan, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, yang mengatakan:
(1) Dengan berlakunya undang-undang ini segala peraturan perundang-undangan di bidang pers yang berlaku serta badan atau lembaga yang ada tetap berlaku atau tetap menjalankan fungsinya sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan undang-undang ini.

Sederhananya menurut ayat dalam pasal ini, bila ditafsirkan dalam kepentingan korban dapat menempuh dengan laporan ke polisi untuk pidana dan gugatan bila menyangkut perdata. Pun tidak ada suatu keharusan untuk menempuh penyelesaian sengketa dengan mengajukan ke Dewan Pers atau penggunaan hak jawab.

Sederhananya, korban dengan atau melalui kuasa hukumnya dapat mengirimkan Surat Teguran demikian juga permintaan ralat atau hak jawab atau merasa teguran tidak di gubris langsung melaoporkan ke polisi atau gugatan.

Apakah tindakan itu salah? Paham legisme yang diadopsi di republik ini menuntun kita untuk patuh kepada hukum positif dan apa yang diaturnya. UU Pers pun sejatinya tidak menutup pintu untuk laporan polisi atau gugatan. Lantas apa dasar bila terjadi sengketa yang memang kepentingan korban harus segera untuk dilindungi harus dengan berlama-lama berdialog, bermediasi di Dewan Pers sementara kerugian korban terus berakumulasi.

Namun, jangan lupa prinsip-prinsip hukum umum dan bangsa beradab menyebabkan kita perlu menempuh penyelesaian sengketa pers. Disemua negara-negara demokrasi sengketa pers diselesaikan tidak dengan pemidanaan melainkan dengan jalur perdata. Dengan jalan mengkompensasi kerugian korban secara proporsional. Kasus pers di Amerika Serikat selalu telak dengan adanya Amandemen Pertama Konstitusi AS yang jelas menjamin kebebasan pers.

Lantas, mengapa di Indonesia menggugat pers ke pengadilan terkesan dihalangi sehingga harus memediasi ke Dewan Pers? Sederhananya, di Indonesia gugatan atas media dapat tidak ada ukuran jelas atas kerugian yang dikompensasi atau kadar proporsionalitasnya. Dalam kasus Haji Muhammad Soeharto melawan Time Magazine, Inc, Majelis Hakim Kasasi menjatuhkan vonis Rp. 1 Triliyun setara dengan 100 juta USD (kurs 1 USD = Rp. 10.000,-). Praktik ini dalam UU Pers hendak dibatasi dengan denda Rp. 500 juta namun bagaimana bila asset media atau pers hanya 2-3 Milyar Rupiah? Mewmbayar Rp. 500 juta sama dengan menghabiskan semua keuntungan dan sekian persen asset perusahaan, belum termasuk bila harus di vonis mengiklankan permintamaafan. Bahkan dalam kasus Asian Agri Grup melawan Majalah Tempo, biaya iklan permintamaafan diberbagai stasiun televisi dan media cetak hampir 5 kali lipat denda maksimal sebagai mana diatur UU Pers. Jelas sama dengan yang selalu didengungkan kalangan pers ”pembangkrutan” atau bredel gaya baru.

Ketiadaan proporsionalitas dalam penghukuman ini yang membuat ketar-ketir kalangan media massa atau pers. Guna menjembatani kepentingan korban dan media massa itu Dewan Pers mengambil peran kunci dalam penyelesaian sengketa pers. Demikian pula, korban sepatutnyalah menghormati lembaga penyelesaian sengketa pers dan media massa pers tidak pula patut berteriak-teriak kebebasan dan HAM telah disingkirkan.


Dengan penyelesaian sengekta pers model ini, kita berharap pers lebih terlindungi dari upaya-upaya hukum yang kontra produktif bagi kemerdekaan pers. Hal ini bukanlah pepesan kosong, ketiadaan standar hukum atau setidaknya yurisprudensi yang mampu menjadi rujukan bagi para penegak hukum dalam berhadapan dengan pers. Selain itu, secara politis tidak ada sarana lain yang mampu menjaga demokratisasi di Indonesia berjalan selain pers, mengingat peran pers sebagai fourth estate dan kehilangan kepercayaan publik atas kekuatan penekan lainnya. Mahasiswa sebagai kekuatan moral dan pressure group sering kali terlibat perkelahian antar mereka sehingga kridebelitas menjadi pertanyaan dan cendrung menjadi public enemy. Demikian pula, tokoh-tokoh nasional tidak mampu memberikan solusi atas persoalan bangsa dan berkontribusi atas demokratisasi.

Selain itu, secara ekonomis, perkembangan industri media atau pers di masa sekarang tumbuh menjadi basis ekonomi yang penting. Hal ini bukan saja karena semakin banyaknya pers yang tumbuh dan menyerap tidak hanya tenaga profesional tapi juga angkatan kerja pendukug. Tapi juga, industri pers telah melahirkan dan menjadi lahan suburnya industri kreatif, terlihat dengan munculnya media online, industri iklan, dan sebagainya.

Disisi lain, perlindungan korban tidak dapat diabaikan begitu saja atas nama demokrasi dan kemerdekaan pers. Pers atau media harus bertanggung jawab atas pencemaran yang mereka buat. Dengan cepat, responsif, profesional, serta bertanggung jawab harus siap memperbaiki kesalahan dan rehabilitatif atas korban. Oleh karenanya, pentingnya profesionalitas dan standar pemberitaan yang setidaknya telah digariskan dalam UU Pers.

Kepatuhan atas rambu yang ditetapkan dalam hukum positif menjadi ukuran yang tidak bisa ditawar oleh kalangan pers termasuk kode etik dan standar-standar profesi serta prinsip jurnalistik dalam pemberitaan. Selain itu, masyarakat juga harus berperan serta mengawasi pers sehingga melahirkan pers yang profesional yang benar-benar enak dibaca dan perlu serta dapat di percaya sebagai pembawa anamah nurani rakyat. (Kie Chang Liem-3/01/09)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar